Banyumas Raya

Penumpang Lesu, Sopir Angkot Purbalingga Tolak Bayar Retribusi Parkir Pasar Segamas

Kondisi penumpang sepi membuat sopir angkot Purbalingga tak sanggup membayar retribusi pasar.

TRIBUN BANYUMAS/ FARAH ANIS RAHMAWATI
ANGKOT TUNGGU PENUMPANG, Sejumlah angkutan kota (angkot) terlihat parkir menunggu penumpang di luar area Pasar Segamas, Purbalingga, pada Kamis (2/10/2025). Para sopir menolak masuk ke dalam area pasar karena keberatan dengan biaya retribusi parkir di tengah kondisi penumpang yang lesu. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, PURBALINGGA - Lesunya jumlah penumpang membuat para sopir angkutan kota (angkot) di Purbalingga yang tergabung dalam Organisasi Sopir dan Awak Angkutan Kota (OSAKA) mengambil sikap. Mereka menolak untuk membayar tiket masuk dan retribusi parkir agar bisa kembali beroperasi di dalam kawasan Pasar Segamas.

Pengurus OSAKA Purbalingga, Siswayudi, menjelaskan bahwa pihaknya sebenarnya mendukung kebijakan pemerintah untuk meramaikan kembali pasar dengan mengizinkan angkot masuk. Namun, kewajiban membayar sejumlah biaya dinilai sangat memberatkan di tengah kondisi penumpang yang tidak menentu.

Baca juga: Pemkab Purbalingga Tak Tinggal Diam Lihat Pasar Segamas Sepi: Bantu Pasarkan Produk Lewat WA

Mengapa Tolak Bayar Parkir? 

Menurut Siswayudi, kebijakan retribusi ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, para sopir pernah membayar retribusi parkir sebesar Rp1,5 juta per bulan untuk total 200 armada agar bisa masuk ke kawasan pasar. Namun, permasalahan kembali muncul setelah adanya pergantian sistem pengelolaan parkir.

“Setelah ada pengelolaan parkir, kami diminta membuat member e-parkir Rp60 ribu. Sempat dinego jadi Rp30 ribu, tapi kami menolak. Akhirnya kami pilih mangkal di luar pasar saja,” ujarnya, Kamis (2/10/2025).

Ia menambahkan, sempat ada kesepakatan bahwa biaya kartu anggota akan ditanggung oleh Organda. Akan tetapi, pihak pengelola parkir kembali meminta pembayaran bulanan sebesar Rp1,5 juta. Tuntutan inilah yang ditolak mentah-mentah oleh para sopir.

“Kami penginnya kartu dibuatkan, masuk gratis, dan tidak ada uang bulanan. Karena sekarang saja kondisinya begini,” keluhnya.

Kenapa Penumpang Angkot Sepi? 

Kondisi sepinya penumpang angkot, kata Siswayudi, merupakan dampak jangka panjang yang masih terasa sejak pandemi Covid-19 melanda. Banyak rute yang sebelumnya ramai menjadi sepi dan belum pulih hingga kini.

“Itu sejak Covid banyak jalur yang mati, bahkan sampai sekarang masih terasa lesu,” ucapnya.

Selain dampak pandemi, kehadiran Bus Rapid Transit (BRT) dengan tarif yang jauh lebih murah menjadi faktor lain yang membuat penumpang beralih.

Apa Dampak Tarif BRT? 

Persaingan dengan moda transportasi lain sebenarnya adalah hal yang biasa. Namun, menurut Siswayudi, perbedaan tarif antara angkot dan BRT saat ini sudah tidak seimbang, terutama untuk segmen penumpang pelajar dan buruh yang menjadi andalan angkot.

Saat ini, tarif BRT untuk pelajar dan buruh hanya Rp1.000, sementara tarif angkot berada di kisaran Rp4.000 hingga Rp5.000.

“Jelas tidak seimbang. Kalau dulu BRT Rp4.000, kita Rp5.000 masih aman, masih banyak yang naik angkot. Tapi setelah tarif berubah, pelajar dan buruh sepi. Padahal dulu buruh itu laris banget,” katanya.

Siswayudi menegaskan bahwa pihaknya telah berupaya melakukan negosiasi terkait perbedaan tarif ini dengan dinas terkait dan Organda. Kini, mereka hanya bisa menunggu hasilnya sambil berharap ada solusi yang menguntungkan semua pihak.

“Harapan kami tarif BRT bisa kembali ke awal. Untuk masuk pasar, kami juga mau, tapi harapannya tetap sama jangan ada biaya tambahan,” pungkasnya.

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved