Berita Solo

Peringatan Keras LMKN: Putar Lagu Barat hingga Suara Burung Tetap Wajib Bayar Royalti

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SOSIALISASI ROYALTI MUSIK - Plh LMKN Jateng & DIY, Jepank Van Sambeng (berdiri), memberikan sosialisasi kepada para pengusaha kafe dan hotel di Solo, Jumat (8/8/2025), mengenai aturan royalti musik. Ia memberikan peringatan keras dengan cara mengklarifikasi bahwa memutar lagu barat hingga rekaman suara burung pun tetap wajib membayar royalti, kecuali ada surat pernyataan tertulis dari penciptanya.

TRIBUNBANYUMAS.COM, SOLO - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memberikan sebuah peringatan keras.

Peringatan ini ditujukan bagi semua pemilik usaha yang memutar musik di tempat komersial seperti kafe, hotel, dan restoran.

Pesan dari LMKN sangat jelas: hampir tidak ada celah untuk bisa menghindari kewajiban membayar royalti.

Baca juga: Royalti Musik Tak Jadi Masalah di Hotel Jaringan, Aston Purwokerto: Playlist dari Manajemen Pusat

Bahkan, memutar lagu barat hingga rekaman suara burung sekalipun ternyata tetap wajib untuk membayar royalti.

Klarifikasi dan peringatan keras ini disampaikan oleh Jepank Van Sambeng.

Ia adalah Pelaksana Harian LMKN untuk wilayah Jawa Tengah & DIY.

Ia memberikan penjelasan dalam sebuah acara sosialisasi di Gedung Djoeang 45, Solo, pada Jumat (8/8/2025).

Jepank secara khusus meluruskan beberapa kesalahpahaman yang selama ini beredar di tengah para pengusaha.

Pertama, mengenai anggapan bahwa memutar lagu barat bisa bebas dari kewajiban royalti.

Ia dengan tegas membantah hal tersebut.

Menurutnya, Indonesia telah terikat dalam sebuah perjanjian internasional mengenai hak kekayaan intelektual.

Oleh karena itu, memutar lagu barat tetap wajib untuk membayar royalti kepada penciptanya.

Kedua, mengenai ide kreatif pengusaha yang ingin memutar suara alam seperti suara burung untuk menghindari royalti.

Menurut Jepank, cara ini pun belum tentu aman dari jerat hukum.

“Itu akan terkena royalti karena di situ ada hak produser fonogram yang melakukan proses fiksasi dari suara burung atau bunyi alam itu melalui proses rekaman," katanya.

Hak produser inilah yang membuat rekaman suara burung tetap wajib untuk membayar royalti.

Ketiga, mengenai pernyataan beberapa musisi terkenal yang mengizinkan lagunya diputar gratis.

Jepank menegaskan bahwa pernyataan lisan atau verbal di media tidak memiliki kekuatan hukum.

“Jika memang penyanyi yang membolehkan diputar secara gratis, sebaiknya mereka tidak hanya menyatakan secara verbal, tetapi juga dinyatakan di dalam surat pernyataan secara tertulis,” ujarnya.

Tanpa adanya surat pernyataan tertulis yang resmi, maka lagu-lagu tersebut secara hukum tetap wajib membayar royalti.

Dalam acara sosialisasi di Solo itu, Jepank Van Sambeng tampak berdiri di depan para pengusaha.

Ia yang mengenakan kemeja putih terlihat sedang berbicara di hadapan audiens yang duduk di meja-meja bundar.

Suasana di dalam ruangan yang berdesain modern itu tampak sangat serius.

Para pemilik hotel, kafe, dan restoran menyimak dengan saksama setiap penjelasan yang diberikan.

Di forum inilah, LMKN memberikan peringatan keras dan klarifikasi pentingnya kepada para pelaku usaha.

LMKN juga mengingatkan adanya sanksi yang sangat berat bagi para pelanggar.

Tidak membayar royalti bisa dikategorikan sebagai sebuah pelanggaran hak cipta.

Sanksinya bisa berupa pidana dan juga perdata.

Undang-Undang Hak Cipta Pasal 113 menyebutkan adanya denda hingga Rp500 juta.

Selain denda, ada juga ancaman hukuman penjara hingga 10 tahun.

Lalu, adakah musik yang benar-benar gratis dan bebas royalti?

Jepank menjelaskan bahwa ada beberapa kategori.

Pertama adalah musik yang sudah masuk ke dalam ranah publik (public domain).

Kedua adalah musik dengan lisensi Creative Commons yang mengizinkan penggunaan gratis.

Dan ketiga adalah lagu-lagu yang sudah menjadi aset negara, seperti lagu kebangsaan Indonesia Raya.

 

Berita Terkini