TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - Munculnya koalisi gendut yang mendominasi penentuan calon kepala daerah dalam Pilkada 2024 mendorong tiga warga menggugat undang-undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Uniknya, para pemohon meminta ada opsi memilih kotak kosong di setiap wilayah penyelenggara pilkada, tak hanya di daerah yang menyelenggarakan pilkada dengan calon tunggal.
Tiga pemohon tersebut masing-masing Heriyanto (Pemohon I), Ramdansyah (Pemohon II), dan Raziv Barokah (Pemohon III).
Mereka mengajukan permohonan untuk menguji Pasal 79 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016.
Dalam alasannya, mereka mengatakan, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 karena pasangan calon kepala daerah banyak yang tidak memerhatikan kehendak rakyat, melainkan mengutamakan pilihan elit partai politik.
"Kami melihat justru pasangan yang ada itu lebih banyak dihasilkan dari yang namanya kandidasi buying atau pork barrel politic juga didalamnya, Yang Mulia," ujar Heriyanto selaku Pemohon, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 125/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Rabu (25/9/2024).
Baca juga: Bersaing dengan Kotak Kosong, Calon Tunggal Pilkada Banyumas Tetap Ikuti Pengundian Nomor Urut
Kondisi ini mengakibatkan, bakal pasangan calon kepala daerah yang maju di pilkada tidak diusung karena alasan untuk kepentingan rakyat melainkan kepentingan penguasa.
Bahkan, karena skenario koalisi gemuk mengakibatkan hanya ada satu pasangan calon kepala daerah sehingga akan ada pertarungan melawan kotak kosong.
Itu sebabnya, para Pemohon menginginkan konsep kotak kosong juga berlaku atas daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon kepala daerah.
Hal ini sebagai bentuk penolakan pemilik hak suara untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang ada.
Pada pokoknya, para Pemohon menginginkan ada fasilitasi terhadap keberadaan suara kosong atau blank vote dengan mengakui keberadaan kotak kosong di dalam surat suara bagi daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon.
Pokok permohonan juga meminta agar suara kosong sebagai suara sah dan mempengaruhi keterpilihan dari hasil pilkada.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 79 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai seperti yang dimohonkan para Pemohon.
Menanggapi permohonan para Pemohon, Ketua MK Suhartoyo yang memimpin sidang mempertanyakan argumen para pemohon terkait permintaan fasilitas kotak kosong tersebut.
Karena, menurut Suhartoyo, jika kotak kosong diterapkan, justru pilkada akan sulit menghasilkan pasangan calon yang konkret terpilih.