Namun karena sang ibu meminta untuk pulang, Bagas akhirnya kembali ke kampung halaman.
Bekal ilmu agama di tanah rantau membuat Bagas dikenal sholeh.
Ia kerap menjalankan ajaran agama yang dipelajari selama di pesantren.
Kampung Bagas ternyata sangat jauh dari kata Islami.
Surau yang menjadi tempat ibadah hanya terdapat sajadah terbentang.
Bagas akhirnya menghidupkan kembali kegiatan keagamaan di kampungnya.
Ia mulai salat ke surau sembari mengajak beberapa warga sekitar.
Namun tidak ada yang mau ikut dengan Bagas karena masyarakat tidak terbiasa.
Suatu hari Bagas tak sengaja bertemu dengan sekumpulan warga yang sedang pesta.
Bagas melihat adanya aksi perjudian dan minum-minuman keras.
Sebagai orang yang paham agama, Bagas menolak keras perlakuan tersebut.
Ia tak bisa mentolerir kegiatan terlarang yang dilakukan para warga.
Oleh karena itu ia memberanikan diri untuk menegur warga.
Namun warga tidak terima Bagas datang dan menegur untuk menghentikan pesta tersebut.
Pemilik acara pun mengamuk karena melihat tingkah Bagas yang dianggap sok alim.