TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - Komitmen Mahkamah Agung dalam upaya pemberantasan korupsi dipertanyakan, menyusul maraknya pemotongan hukuman terpidana kasus korupsi di tingkat peninjauan kembali (PK).
Terbaru, MA mengabulkan PK mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan mengurangi hukuman Anas dari 14 tahun pada tingkat kasasi menjadi 8 tahun penjara.
Putusan PK Anas tersebut memperpanjang daftar koruptor yang mendapat "hadiah" dari MA karena sebelumnya KPK mencatat setidaknya ada 20 orang terpidana kasus korupsi yang mendapat keringanan hukuman di tingkat MA.
Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, obral diskon tersebut menunjukkan belum ada kesamaan visi dalam memberantas korupsi.
"Bagi KPK, ini cerminan belum adanya komitmen dan visi yang sama antar-aparat penegak hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa," kata Ali, Kamis (1/10/2020).
• Dua Hakim Mahkamah Agung Bakal Diperiksa KPK terkait Kasus Suap dan Gratifikasi Nurhadi
• Kejari Purbalingga Temukan Dugaan Korupsi Anggaran BBM dan Retribusi Sampah Rp 600 Juta di DLH
• Kejari Terima Denda Terpidana Korupsi JLS Salatiga, Istri Saryono: Suami Saya Sudah Sakit-sakitan
Ali mengatakan, meskipun PK merupakan hak setiap terpidana, putusan PK yang kerap kali memberi hukuman ringan akan berpengaruh pada kepercayaan publik.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango pun enggan berkomentar banyak terkait maraknya diskon hukuman koruptor tersebut dan membiarkan publik yang menilai.
Nawawi mengatakan, KPK telah melaksanakan tugas dan pekerjaannya serta tidak bisa berbuat apa-apa lagi menyusul putusan PK tersebut.
"Biar masyarakat saja yang menilai makna rasa keadilan dan semangat pemberantasan korupsi dalam putusan-putusan peninjauan kembali tersebut," kata Nawawi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menuturkan, putusan-putusan PK tersebut seolah meruntuhkan sekaligus mengubur rasa keadilan masyarakat.
Menurut Kurnia, keberpihakan MA dalam pemberantasan korupsi sudah dipertanyakan sejak awal berkaca pada rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun dan 7 bulan penjara sebagaimana catatan ICW pada 2019.
"Jadi, bagaimana Indonesia bisa bebas dari korupsi jika lembaga kekuasaan kehakiman saja masih menghukum ringan para koruptor?" ujar Kurnia.
Tren hukuman ringan itu dinilai memiliki dua implikasi, yakni pemberian efek jera yang semakin jauh serta kinerja penegak hukum yang menjadi sia-sia.
Cara pandang MA berubah
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM Yogyakarta Zaenur Rohman berpendapat, ada perubahan cara pandang MA terhadap kasus korupsi yang menyebabkan maraknya diskon hukuman koruptor.
• Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 10 Ditutup Siang Ini, Belum Ada Kabar untuk Gelombang 11
• Lama Tak Muncul di Publik, Kim Jong Un Ajak Adik Perempuannya Kunjungi Desa Terdampak Banjir
• Sandiaga Uno Dipastikan Jadi Jurkam Pasangan Gibran-Teguh di Pilkada Solo