Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, langkah Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan MA.
Tindakan itu, kata Feri, dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law.
"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA."
"Sebab, itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," kata Feri.
Menurut Feri, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden.
Hal itu tertuang dalam Undang-Undang tentang MA dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Feri mengatakan bahwa putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 itu pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan.
Oleh karenanya, sekalipun kenaikan iuran BPJS yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 nominalnya sedikit berbeda dengan kenaikan sebelumnya, langkah Presiden menaikkan iuran BPJS tetap tidak dapat dibenarkan.
"Seberapa pun jumlah (kenaikan iuran)-nya, maka tidak benar kenaikan (iuran) BPJS," ujar Feri.
Justru, Feri menilai, Jokowi sengaja membuat nominal kenaikan sedikit berbeda dari perpres sebelumnya sebagai dalih agar perpres ini tidak dinilai bertentangan dengan putusan MA.
Padahal, hal itu merupakan upaya penyelundupan hukum.
"Mungkin di sana upaya main hukumnya. Dengan demikian, Presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA," kata Feri.
Pemerintah Tak Miliki Empati
Anggota Komisi XI DPR Saleh Daulay juga menilai, pemerintah tidak memiliki empati kepada masyarakat dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19 ini.
"Masyarakat di mana-mana lagi kesulitan. Dipastikan banyak yang tidak sanggup untuk membayar iuran tersebut," ucap dia.