Liputan Khusus MBG di Banyumas
Banyak Dikritik karena Rasa Makanan Hambar, hingga Siswa Tak Selera Makan
Tapi kalau anak dari keluarga mampu, ya mohon maaf, malah merasa kadang kurang cocok dengan makanannya
Penulis: Permata Putra Sejati | Editor: Rustam Aji
TRIBUNBANYUMAS.COM, PURWOKERTO - Program unggulan pemerintah, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah berjalan beberapa bulan.
Termasuk di Kabupaten Banyumas, sejumlah sekolah juga sudah banyak yang mendapat program MBG.
Sayangnya, program yang dibangga-banggakan pemerintah tersebut, masih banyak dikritik dan dikeluhkan para penerimanya, terutama siswa.
Program yang sejatinya digagas untuk meningkatkan gizi dan meringankan beban orangtua siswa, di Kabupaten Banyumas diwarnai berbagai keluhan.
Keluhan disampaikan terutama terkait rasa makanan yang dianggap hambar, porsi kurang, pengiriman terlambat, hingga ketimpangan distribusi antarsekolah.
Tak segan, saat Tribunbanyumas.com melakukan penelusuran implementasi program MBG ini ke para siswa, guru, bahkan orangtua siswa, rata-rata mempertanyakan kualitas dan pemerataan program MBG.
Misal saja, keluhan datang dari SDN 4 Kranji Purwokerto, yang hingga kini masih aktif memantau kualitas makanan yang diterima setiap hari.
Perwakilan guru, Menik Galuh (32) mengatakan, pihak sekolah dan siswa selalu turut mengkroscek kondisi makanan yang diterima.
"Karena itu masaknya pagi banget ya, jadi dalam keadaan panas kemudian mungkin langsung dimasukin box, jadi sayurnya ketika akan dimakan jadi layu dan kurang fresh," ujar Menik saat ditemui Tribunbanyumas.com.
Karena itu, apabila mendapati makanan dalam kondisi kurang layak, dirinya tidak segan menyampaikan kepada siswa untuk tidak memakannya.
"Kalau mendapati sayur dalam kondisi nggak bagus dan kurang fresh, saya bilang ke anak, tidak usah dimakan," tegasnya.
Baca juga: MBG di Sragen Dihentikan Sementara, Diduga Picu Keracunan Makanan Siswa SD dan SMP di Gemolong
Ia menekankan, pihak sekolah terus menjalin komunikasi dengan penyedia makanan MBG, terutama apabila ditemukan susu menggumpal atau lauk yang tidak layak konsumsi.
Dari sisi siswa, keluhan yang paling sering muncul adalah soal rasa.
"Yang paling susah makan makanan MBG itu anak-anak kelas bawah, kelas 1, 2, dan 3. Mereka masih susah membentuk pola makan sehat," katanya.
Sementara siswa kelas 4 hingga 6 dinilai sudah mulai bisa beradaptasi dengan menu MBG.
"Dulu kalau ada anak kurang mampu yang tidak diurusi sama sekali soal bekal, jadi terbantu. Tapi kalau anak dari keluarga mampu, ya mohon maaf, malah merasa kadang kurang cocok dengan makanannya," jelasnya.
Keluhan juga datang dari SMKN 2 Purwokerto, sekolah yang menjadi salah satu penerima awal program MBG sejak 13 Januari 2025.
"Kadang porsinya kurang, menunya juga gitu-gitu aja, dan sering telat datangnya," kata Yosafat Arunaseta, siswa SMKN 2 Purwokerto.
Yosafat mengakui, meski merasa terbantu, tapi rasa makanan kerap menjadi persoalan utama.
"Aku kurang suka sama sayurannya, agak hambar. Kadang lauknya asin banget, kadang juga nggak ada rasanya," tuturnya.
Menurutnya, sebelum ada MBG, mayoritas siswa di sekolah memang membawa bekal sendiri karena keterbatasan fasilitas kantin.
"Kalau makan di kantin sempit dan ramai, jadi mending makan yang dikasih lewat MBG. Tapi karena sudah biasa bawa sendiri juga, nggak kaget kalau harus masak lagi di rumah," tambahnya.
Hal serupa disampaikan Aurora Fairus, siswi kelas 12 SMAN 2 Purwokerto.
Ia mengeluhkan rasa makanan yang kurang konsisten.
"Rasanya nanggung, kadang keasinan, kadang hambar. Jadi nggak konsisten," ungkap Aurora kepada Tribunbanyumas.com, Selasa (19/8/2025).
Meski tetap memakan makanan dari MBG, ia mengaku lebih nyaman apabila membawa bekal sendiri.
Baca juga: Mantap! Timnas Sepakbola Putri Indonesia U16 Menang Telak 6-0 atas Timor Leste
"Pernah ada yang bersantan, mungkin ditaruh dan ditutup dalam keadaan panas jadi terasa basi. Baunya kurang enak, dan saya nggak makan," tambahnya.
Rekan sekelasnya, Stanley Disatria, menyoroti soal rasa dan tingkat kematangan yang berbeda-beda.
"Kadang punya temen enak, punya saya nggak.
Tingkat kematangan juga beda-beda.
Saya selalu kroscek dulu sebelum makan, takut ada yang jamuran atau bau," ujarnya.
Namun Stanley tetap menghargai kehadiran MBG, asal menu memenuhi unsur gizi pokok.
"Bagi saya menu apa saja nggak masalah, asal ada protein, karbo, dan buah," tambahnya.
Sementara itu, dari wilayah pinggiran Banyumas, suara ketimpangan distribusi mulai terdengar.
Muji Lestari, orangtua siswa SDN 4 Tunjung, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas mengatakan anaknya yang kini duduk di kelas 3 SD masih belum mendapatkan jatah makan bergizi gratis.
"Belum, sampai sejauh ini belum dapat.
Sebenarnya kita menantikan segera ada. Karena sekolah yang ada di kota Purwokerto juga sudah dapat sejak lama," katanya.
Ia berharap program ini segera merata hingga ke desa-desa agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
"Harusnya yang di pinggiran kaya kita juga harusnya diprioritaskan, supaya tidak ada kecemburuan," ujarnya.
Muji menambahkan bekal yang diberikan kepada anaknya pun seadanya.
"Saya itu kadang bawakan bekal ya seadanya, kadang nasi sayur sama lauk ya biasa.
Yang gampang, malah beli rames terus dimasukin ke wadah," katanya.
Tribunbanyumas sudah mencoba menghubungi seorang Kepala SPPG Brobahan, Luky Ayu Parwatiningsih untuk konfirmasi dan meminta tanggapan dan perkembangan MBG di Banyumas akan tetapi tidak mendapat tanggapan dan respon. (jti)
Permata Putra Sejati
Mantap! Timnas Sepakbola Putri Indonesia U16 Menang Telak 6-0 atas Timor Leste |
![]() |
---|
Sindiran untuk Bupati Sudewo yang 'Menghilang', Warga Pati Gelar Aksi Seribu Lilin di Alun-alun |
![]() |
---|
Puncak Kemarahan Warga Wonokerto, Kades Dituding Gadai Motor Desa hingga Bikin Laporan Sapi Fiktif |
![]() |
---|
Survei Litbang Kompas: 64,6 Persen Warga Puas Kinerja Gubernur Luthfi, tapi Kemiskinan Masih Jadi PR |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.