Berita Jateng

Getirnya Warga Punsae Ungaran, Sudah Bayar Lunas tapi Sertifikat Harus Ditebus Rp 80 Juta

sertifikat rumah mereka ternyata telah diagunkan ke Bank BTN oleh manajemen lama PT Agung Citra Khastara (PT ACK), pengembang perumahan

|
Penulis: Reza Gustav Pradana | Editor: Rustam Aji
TRIBUN JATENG/REZA GUSTAV
AUDIENSI DENGAN DEWAN- Warga Perumahan Subsidi Ungaran Asri Regency (Punsae), Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, mengikuti audiensi dengan pihak pengembang, bank dan legislatif di Kantor DPRD Kabupaten Semarang, Rabu (13/8/2025). Mereka meminta keadilan karena meski telah melunasi pembayaran rumah, warga masih diminta membayar kembali Rp40 hingga Rp80 juta untuk menebus sertifikat hak milik. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, UNGARANPunsae. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kira-kira bermakna sudah bagus.

Namun, makna itu tidak berlaku bagi warga Perumahan Ungaran Asri Regency (Punsae), Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, mendatangi gedung DPRD Kabupaten Semarang, Rabu (13/8/2025). 

Pasalnya, nasib mereka tidak sebagus nama rumah yang mereka tempati.

Warga Punsae mengalami ketidak menentuan terhadap status sertifikat rumah yang mereka miliki, tak kunjung diserahkan kepada mereka.

Padahal, mereka telah melunasi pembayaran rumah, tapi warga masih diminta membayar kembali Rp 40 hingga Rp 80 juta untuk menebus sertifikat hak milik.

Tebusan sertifikat itu Rp 40 Juta untuk Tipe Kecil dan Rp 80 Juta untuk Tipe Besar.

Tak puas akan hal itu, mereka pun mengadukan persoalan tersebut ke Komisi C DPRD Kabupaten Semarang.

Karena, sertifikat rumah mereka ternyata telah diagunkan ke Bank BTN oleh manajemen lama PT Agung Citra Khastara (PT ACK), pengembang perumahan tersebut.

Anehnya, tidak ada tindakan tegas terhadap PT ACK padahal mereka juga sudah mengadukannya ke penegak hukum.

“Sertifikat rumah kami digadaikan tanpa sepengetahuan kami. Sekarang kami harus menebus dengan uang puluhan juta rupiah, padahal rumah sudah lunas,” ujar Diah Ayu (50), perwakilan warga, dalam audiensi bersama Komisi C DPRD Kabupaten Semarang.

Baca juga: Kapolsek Pati Kepalanya Bocor Kena Lemparan Batu Massa Aksi, Dirawat Inap dan Mengeluh Masih Pusing

Menurut Diah, nilai tebusan yang dibebankan kepada warga bervariasi. 

Untuk rumah bertipe kecil, warga diminta membayar Rp 40 juta, sedangkan rumah dengan tipe lebih besar dikenakan hingga Rp 80 juta.

“Kami membeli langsung ke manajemen lama PT ACK. Hubungan hukum kami jelas dengan pengembang, bukan dengan bank, tapi karena sertifikat masih di Bank BTN, kami jadi seolah-olah punya utang, padahal tidak,” tegas Diah.

Getirnya lagi, Bank BTN, menurut dia, tidak memberikan kelonggaran berarti. 

Warga hanya diberi pilihan untuk mencicil selama satu tahun. 

Menurutnya, bagi warga berpenghasilan setara UMR, hal itu menjadi beban yang nyaris mustahil dipenuhi.

“Kalau mencicil tanpa batas waktu dan tanpa bunga, mungkin kami sanggup, tapi kalau dipaksa lunas dalam setahun, itu sangat berat. Kami ingin bayar, tapi semampunya,” imbuh dia.

Sementara itu, Manajemen Baru PT ACK mengaku sudah mengorbankan dana Rp 2 miliar.

Kuasa hukum manajemen baru PT ACK, Aditya Kusumandityo, menjelaskan pihaknya sudah beritikad baik membantu menyelesaikan masalah tersebut, meski secara hukum, tanggung jawab berada di tangan manajemen lama.

“Pak Prayitno (pimpinan manajemen baru) sudah mengeluarkan dana pribadi sekitar Rp2 miliar. Itu untuk menebus sebagian sertifikat dan membayar BPHTB konsumen yang membeli dari manajemen lama,” jelas dia.

Menurut Aditya, uang tersebut digunakan untuk menebus sertifikat milik 90 warga yang telah membayar lunas rumah mereka. 

Baca juga: Warga Perum Punsae Semarang Terancam Kehilangan Rumah. Sertifikat Digadai Pengembang, Bakal Dilelang

Dia menegaskan, manajemen baru tidak menerima satu rupiah pun dari transaksi masa lalu.

“Uang warga tidak masuk ke kami, tapi kami tetap bantu, bahkan tanda tangan Surat Kesepakatan Perdamaian di Polda Jateng sudah dilakukan. Karena sertifikat ada di Bank BTN, semua proses sekarang harus lewat bank,” kata dia.

Aditya juga menolak jika manajemen baru menerima cicilan dari warga, karena ranahnya sudah masuk sistem perbankan.

Audiensi dengan DPRD 

Di sisi lain, audiensi dengan DPRD Kabupaten Semarang nampaknya tak membawa hasil konkret. 

Komisi C menyatakan tidak bisa mencampuri masalah karena kini sudah masuk ranah hukum.

“Kami hanya menjadi jembatan dialog, sebagian warga sudah bersepakat lewat SKB (Surat Kesepakatan Bersama) dengan pengembang dan bank. Tapi karena sudah masuk proses hukum, kami tidak punya kewenangan lebih jauh,” ujar anggota Komisi C DPRD Kabupaten Semarang, Hari Sulistiyono.

Hari mengungkapkan bahwa dari 90 konsumen, 45 telah sepakat menyelesaikan masalah lewat jalur musyawarah, dan baru 17 di antaranya yang benar-benar menandatangani kesepakatan dengan pihak pengembang dan Bank BTN. (rez)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved