Berita Jateng
Jejak Kelam Eksploitasi Kolonial di Balik Cantiknya Wisata Kebun Teh Tambi Wonosobo
Wonosobo bukan lagi dikenal sebagai kota kecil di lereng gunung saja, tapi sebagai ladang emas hijau berupa rempah-rempah.
Penulis: Imah Masitoh | Editor: khoirul muzaki
TRIBUNBANYUMAS.COM, WONOSOBO - Sejarah Wonosobo berubah drastis setelah tahun 1830.
Kala itu, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan Bupati pertama Wonosobo, K.R.T. Setjonegoro, meninggalkan jabatannya, sebuah babak baru dimulai.
Bukan lagi babak perlawanan atau perjuangan, melainkan babak ekspansi ekonomi oleh pemerintah kolonial Belanda yang melihat potensi Wonosobo.
Wonosobo bukan lagi dikenal sebagai kota kecil di lereng gunung saja, tapi sebagai ladang emas hijau berupa rempah-rempah.
Belanda menjadikan Wonosobo sebagai daerah perusahaan. Dengan tanah yang subur kawasan ini dinilai sempurna untuk investasi besar-besaran.
Pada saat itu berdirilah perusahaan-perusahaan perkebunan yang menggarap komoditas kelas dunia seperti teh, kopi, kina, hingga tebu.
Baca juga: Harga Emas Antam Hari Ini Naik Rabu 2 Juli 2025
Salah satu yang paling dikenal adalah Bagelen Thee en Kina Maatschappij, perusahaan teh yang kini telah berganti nama menjadi PT. Tambi.
Terletak di dataran tinggi dengan udara sejuk, kebun teh ini bukan hanya menjadi penghasil teh berkualitas tinggi, tapi juga simbol bagaimana Wonosobo dijadikan instrumen ekonomi oleh penjajah.
Produk-produk dari Wonosobo tidak main-main. Daun teh yang diolah di sini dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
Belum lagi biji kopi yang harum, kina yang berkhasiat, dan gula tebu yang manisnya menembus pasar-pasar Eropa. Bagi Belanda, Wonosobo bukan lagi daerah, tapi aset berharga.
Namun, di balik keberhasilan ekonomi ini, terdapat sisi kelam yang tidak bisa diabaikan.
Demi memenuhi permintaan dunia yang semakin tinggi akan rempah-rempah, di pertengahan abad ke-18, Belanda mengeksploitasi Wonosobo secara besar-besaran.
Perkebunan-perkebunan baru bermunculan, menyerap tenaga kerja lokal dengan sistem kerja paksa dengan upah rendah.
Pemerintah kolonial semakin gencar merekrut budak untuk jadi petani perkebunan.
Tidak ingin rugi seperti VOC mereka merekrut petani dengan upah yang murah dan paksaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.