Berita Jateng

Ternyata Ini Penyebab Banjir Besar di Jateng, Walhi Keluarkan 2 Rekomendasi

Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Jawa Tengah mengungkapkan kajian soal banjir besar yang terjadi di beberapa daerah di Jateng.

TRIBUNBANYUMAS/TITO ISNA UTAMA
Warga Desa Dorang, Kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara, menembus banjir untuk mengevakuasi barang berharga menggunakan rakit yang terbuat dari dipan atau tempat tidur kayu, Minggu (17/3/2024). Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Jawa Tengah mengungkapkan kajian soal banjir besar yang terjadi di beberapa daerah di Jateng. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Jawa Tengah mengungkapkan kajian soal banjir besar yang terjadi di beberapa daerah di Jateng.

Daerah yang dilanda banjir merata mulai dari Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Grobogan, dan daerah lainnya.

Hasil kajian itu memberikan dua rekomendasi kepada pemerintah meliputi pengembalian fungsi kawasan hulu sebagai daerah resapan air dan daerah yang memiliki fungsi lindung.

Baca juga: Bukan Karena Banjir, Selat Muria Bakal Terbentuk Lagi Jika Hal ini Terjadi, Tandanya Sudah Ada?

Seorang warga Kudus melintas di genangan banjir. Banjir di kabupaten ini meluas pada Senin (18/3/2024).
Seorang warga Kudus melintas di genangan banjir. Banjir di kabupaten ini meluas pada Senin (18/3/2024). (Rezanda Akbar/TribunBanyumas.com)

Kemudian, menyusun struktur ruang dan penataan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan fungsi ruang lingkungan hidup yang berkeadilan. 

"Iya, ada dua rekomendasi tersebut dari kajian cepat respon banjir di beberapa daerah di Jawa Tengah," kata aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Nur Cholis, dalam keterangan tertulisnya kepada Tribunbanyumas.com, Jumat (22/3/2024)

Rekomendasi tersebut berangkat dari bencana banjir yang menerjang hampir seluruh wilayah di Jawa Tengah di awal tahun 2024. 

"Pemerintah seakan tak pernah mengambil ikhtiar dari bencana yang telah terjadi," kata Cholis. 

Baca juga: 43 Sekolah di 5 Kecamatan Kudus Terendam Banjir, Kegiatan Belajar di Kelas Tak Bisa Dilakukan

Menurutnya, pemerintah selalu menyatakan banjir disebabkan oleh luapan air sungai, tanggul jebol, sedimentasi sungai, infrastruktur sungai yang belum selesai dikerjakan, dan cuaca ekstrim. 

Tidak ada statement atau respon yang jelas dan tegas menunjukkan bahwa ini disebabkan alih fungsi lahan dan tata ruang yang serampangan.

"Selalu menyatakan banjir sebagai faktor teknis sekaligus memang takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari," paparnya.

Baca juga: Terminal Jati Kudus Lumpuh akibat Banjir, Penumpang Bingung Cari Agen Bus

Kajian Walhi soal Banjir Jateng

Dari kajian yang dikerjakan Walhi Jateng sepanjang 2023, perubahan lanskap daerah hulu yang menjadi penopang resapan air untuk daerah bawah (hilir) kian mengerikan.

Setelah pesisir habis dan rusak karena industrialisasi yang masif, bagian tengah yang merupakan bentang pegunungan mulai dari Tegal hingga Karanganyar dan Rembang juga mulai dibabat untuk pembangunan, baik untuk proyek strategis nasional (PSN), industri, pertambangan, maupun proyek skala besar industri energi.

Sebagai satu kesatuan ruang wilayah, bencana banjir yang hampir mendominasi kawasan pantai utara (Pantura) tidak bisa hanya dilihat sebatas persoalan teknis macam tanggul jebol.

Hal itu seperti yang terjadi Februari lalu saat banjir di Grobogan dan Demak yang menenggelamkan ribuan hektar sawah yang kemudian terancam gagal panen.

"Penyebab banjir harus dilihat bahwa ada proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Jragung di Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Demak dan Grobogan telah membabat habis ratusan hektare kawasan hutan," tuturnya.

Begitupun banjir yang terjadi di Jepara, Pati, dan Blora yang sangat dekat sekali dengan kawasan pegunungan Karst Kendeng.

Karst Kendeng telah berubah menjadi daerah pertambangan bahkan pabrik semen. 

Di daerah paling barat juga harus dilihat dari sisi perubahan hulu di Gunung Slamet yang menjadi industri pariwisata dan uji coba proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang  menyebabkan banjir di daerah Brebes, Tegal, Pemalang dan Pekalongan. 

Selanjutnya di Kota Semarang yang menjadi langganan bencana banjir bahkan pada tanggal 13 – 14 Maret bulan ini juga turut disebabkan oleh perubahan daerah hulu.

"Perubahan lanskap kawasan resapan air menjadi perumahan, tambang-tambang untuk menyuplai kebutuhan reklamasi pantai, PSN Bendungan dan jalan tol, serta industri juga menjadi satu penyebab yang sangat krusial," jelasnya.

Kebijakan Kontradiktif

Cholis mengatakan, berbagai bencana banjir besar yang terjadi tiap tahunnya tidak membuat pemerintah di Jawa Tengah segera mengambil langkah serius agar bencana yang meluas dan semakin tinggi ini tidak berulang. 

Justru, beberapa kebijakan yang dibuat kontradiktif dengan bencana banjir yang terjadi, salah satunya dalam draf Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2023-2043 yang saat ini sedang dibahas. 

Dalam Raperda tersebut, diketahui bahwa kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya (PTB) berkurang sebanyak 82.230 hektare (Ha), dari 107.286 Ha menjadi 25.056 Ha.

Kedua, Luasan kawasan konservasi dan cagar budaya berkurang seluas 19.093 Ha, dari 32.788 Ha menjadi 13.695 Ha.

"Pengurangan PTB, Kawasan Konservasi dan cagar budaya tersebut menunjukan bahwa sampai saat ini pemerintah belum melihat akar masalah banjir dan selalu menyalahkan curah hujan yang tinggi sebagai penyebab banjir," katanya. (*)

Baca juga: Banjir Jepara Mulai Surut, Dapur Umum Ditutup setelah Layani Buka Puasa Sore Ini

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved