Berita Jateng

'Kiamat' Kota Semarang Kian Dekat Akibat Pembangunan yang Jor-joran

Aktivitas pembangunan pusat pendidikan di wilayah Semarang atas menjadi polemik tersendiri karena disebut ikut menyumbang banjir.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: khoirul muzaki
Iwan Arifianto/Tribun Jateng
Suasana diskusi publik bertema Semarang : The Next Atlantis di Kampus Undip, Kota Semarang, Sabtu (4/11/2023). 

 

"Soal banjir yang selama ini terjadi di Semarang atas disebut banjir kejutan karena cepat banjir dan cepat surut. Beda di bawah ketika banjir datangnya pelan-pelan  begitupun surutnya lama," terangnya.

Ia mengatakan, aktivitas pembangunan tidak bisa dihindari. 

Oleh karena itu, tinggal tugas pemerintah mengelola lingkungan dengan baik.

Begitupun dari segi aturan, pemerintah harus cepat responsif ketika ada perubahan di lapangan maka aturannya menyesuaikan.

"Peraturan dibuat untuk mengikuti kemauan masyarakat. Bukan orang yang mengikuti aturan. Maka, Ketika muncul gejala atau dampak dari pembangunan segera dievaluasi," ucapnya.

Sebaliknya, masyarakat juga harus  mau menjaga lingkungan seperti  menjaga sungai  atau membuat dam-dam kecil untuk menampung air hujan supaya air dapat dikelola dengan baik. 

"Dialiran sungai diperlukan pula bendungan-bendungan kecil yang semata-mata untuk menahan air," jelasnya.

Baca juga: Mobil Pameran Tabrak Pengunjung Mal Paragon Semarang, Begini Kronologinya

Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Pencemaran dan Konservasi Lingkungan Hidup DLH Kota Semarang, Safrinal Sofaniadi, mengatakan, pembangunan perguruan tinggi di wilayah semarang atas sudah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).


Pembangunan tersebut boleh dilakukan sepanjang memenuhi kaidah-kaidah pembangunan seperti RTH minimal 20-30 persen.

"Nah kalau di Undip sudah  memenuhi seperti  ada taman, waduk yang akan mengurangi limpasan-limpasan air ke  wilayah-wilayah Semarang bawah," ucapnya.

Menurutnya,  penyebab banjir memiliki banyak faktor sehingga tidak hanya berdasarkan satu tempat saja.

Pihaknya menilai semua tata ruang sudah sesuai tinggal pengendalian limpasan airnya saja. 

Hal itu bisa dilakukan dengan menaati setiap proses pembangunan harus menyisakan minimal 20 persen untuk RTH.

"Pemkot sudah berupaya dalam perencanaan dan pengendalian, tetapi praktik di lapangan memang kewalahan sehingga perlu diperbaiki ke depan terutama memperketat izin," tandasnya. (iwn) 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved