Berita Jateng

'Kiamat' Kota Semarang Kian Dekat Akibat Pembangunan yang Jor-joran

Aktivitas pembangunan pusat pendidikan di wilayah Semarang atas menjadi polemik tersendiri karena disebut ikut menyumbang banjir.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: khoirul muzaki
Iwan Arifianto/Tribun Jateng
Suasana diskusi publik bertema Semarang : The Next Atlantis di Kampus Undip, Kota Semarang, Sabtu (4/11/2023). 

TRIBINBANYUMAS.COM, SEMARANG -Aktivitas pembangunan pusat pendidikan di wilayah Semarang atas menjadi polemik tersendiri karena disebut ikut menyumbang banjir.

Pembangunan tersebut dilakukan di wilayah penyangga seperti di kecamatan Mijen, Tembalang dan Gunungpati.

Dampak pembangunan Universitas terkemuka tersebut memang memiliki efek domino di bidang ekonomi seperti tumbuh pesatnya pusat permukiman, mal, dan lainnya.

Sejurus dengan hal itu, wilayah resapan air berkurang dengan cukup signifikan sehingga limpasan-limpasan air dari Semarang atas dilimpahkan ke wilayah Semarang bawah.

"Ada ketidakadilan tata ruang, mereka yang punya uang membangun seenaknya yang berdampak pada kelompok warga yang lemah," kata Manajer Kajian dan kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jateng, Patria Rizky Ananda,  dalam Diskusi publik Semarang  : The Next Atlantis di Kampus Undip, Kota Semarang, Sabtu (4/11/2023). 

Baca juga: Pemkab Kebumen Gelontorkan Rp 2 miliar untuk Beasiswa 666 Santri, Masing-masing Dapat Rp 3 Juta

Diakui Patria, proyek pembangunan tak bisa dihindari lantaran semakin padatnya penduduk akan berkorelasi dengan aktivitas pembangunan.

Namun, pembangunan selanjutnya harus memperhatikan lingkungan.

Meskipun dalam praktiknya, pembangunan yang berorientasi peduli lingkungan masih jauh panggang dari api. 

Seperti tampak dari pembanguan  yang dilakukan pemerintah saat ini dengan sistem drainase yang buruk.

"Lihat saja pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang yang sekelilingnya dibuat dari beton. Contoh, di Taman  Indonesia Kaya itu bagus buat habitat burung tapi untuk serapan air masih sangat kurang," paparnya.

Terkait perizinan, lanjut dia, tampaknya proses perizinan mendirikan bangunan di Kota Semarang terlampau mudah. 

Hal itu dapat dilihat dari banyaknya ruko-ruko yang mangkrak. Kondisi tersebut menunjukan para pengembang seperti asal-asalan dalam membangun tanpa memperhatikan manfaatnya dan unsur lainnya.

"Misal satu wilayah sudah banyak ruko ya sudah jangan terbitkan lagi izinnya," terangnya.

Terkait keberadaan kampus yang berada di wilayah semarang atas, Dosen Oseanografi Undip, Heryoso Setiyono mengaku, hal itu berdampak tak langsung terhadap meningkatnya jumlah air permukaan.

Terlebih seperti di Kampus Undip Semarang, pembangunan kampus tidak dibarengi dengan akses jalan yang bagus.

 

"Soal banjir yang selama ini terjadi di Semarang atas disebut banjir kejutan karena cepat banjir dan cepat surut. Beda di bawah ketika banjir datangnya pelan-pelan  begitupun surutnya lama," terangnya.

Ia mengatakan, aktivitas pembangunan tidak bisa dihindari. 

Oleh karena itu, tinggal tugas pemerintah mengelola lingkungan dengan baik.

Begitupun dari segi aturan, pemerintah harus cepat responsif ketika ada perubahan di lapangan maka aturannya menyesuaikan.

"Peraturan dibuat untuk mengikuti kemauan masyarakat. Bukan orang yang mengikuti aturan. Maka, Ketika muncul gejala atau dampak dari pembangunan segera dievaluasi," ucapnya.

Sebaliknya, masyarakat juga harus  mau menjaga lingkungan seperti  menjaga sungai  atau membuat dam-dam kecil untuk menampung air hujan supaya air dapat dikelola dengan baik. 

"Dialiran sungai diperlukan pula bendungan-bendungan kecil yang semata-mata untuk menahan air," jelasnya.

Baca juga: Mobil Pameran Tabrak Pengunjung Mal Paragon Semarang, Begini Kronologinya

Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Pencemaran dan Konservasi Lingkungan Hidup DLH Kota Semarang, Safrinal Sofaniadi, mengatakan, pembangunan perguruan tinggi di wilayah semarang atas sudah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).


Pembangunan tersebut boleh dilakukan sepanjang memenuhi kaidah-kaidah pembangunan seperti RTH minimal 20-30 persen.

"Nah kalau di Undip sudah  memenuhi seperti  ada taman, waduk yang akan mengurangi limpasan-limpasan air ke  wilayah-wilayah Semarang bawah," ucapnya.

Menurutnya,  penyebab banjir memiliki banyak faktor sehingga tidak hanya berdasarkan satu tempat saja.

Pihaknya menilai semua tata ruang sudah sesuai tinggal pengendalian limpasan airnya saja. 

Hal itu bisa dilakukan dengan menaati setiap proses pembangunan harus menyisakan minimal 20 persen untuk RTH.

"Pemkot sudah berupaya dalam perencanaan dan pengendalian, tetapi praktik di lapangan memang kewalahan sehingga perlu diperbaiki ke depan terutama memperketat izin," tandasnya. (iwn) 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved