Tips Kesehatan

Dampak Kekerasan Terhadap Anak dan Cara Orang Tua Membantu Anak Menghadapi Trauma

Menurut(WHO)kekerasan terhadap anak adalah perbuatan penganiayaan atau perlakuan secara emosi, seksual, dan eksploitasi untuk kepentingan satu pihak

Penulis: Andra Prabasari | Editor: Pujiono JS
THERAPYCENTER
Menurut World Health Organization (WHO) kekerasan terhadap anak adalah perbuatan penganiayaan atau perlakuan secara emosi, seksual, dan eksploitasi untuk kepentingan pihak tertentu. 

TRIBUNBANYUMAS.COM- Sebagian besar masyarakat menganggap KDRT merupakan bentuk kekerasan yang ditunjukkan pada fisik.

Namun KDRT juga dapat berupa penelantaran, pengancaman, perampasan hak yang termasuk dalam kekerasan psikologis seseorang.

Menurut World Health Organization (WHO) kekerasan terhadap anak adalah perbuatan penganiayaan atau perlakuan secara emosi, seksual, dan eksploitasi untuk kepentingan pihak tertentu.

KDRT juga dapat menimbulkan berbagai dampak negative bagi kehidupan, keamanan, dan kesejahteraan anak.

Dampak KDRT secara langsung akan mengakibatkan anak merasakan sendiri kekerasan dari anggota keluarganya, sedangkan dampak secara tidak langsung berarti anak tidak menerima kekerasan, tetapi ia melihat atau mendengar anggota keluarganya melakukan KDRT pada anggota keluarga lain.

Dikutip dari Ilmupsikologi.com, secara garis besar dampak KDRT pada anak terbagi menjadi tiga macam yaitu dampak kekerasan fisik, dampak kekerasan psikis, dan sosial.

Berikut merupakan dampak KDRT terhadap anak yang dijelaskan secara terperinci:

1. Perubahan kondisi fisik atau organ tubuh

Tindakan kekerasan fisik terhadap kekerasa anak yang bisa terlihat adalah luka fisik. Kekerasan fisik ini meliputi memar, luka terbuka, patah tulang, kelelahan kronis, gemetar tanpa sadar, ketegangan otot dan lain sebagainya

Anak-anak yang sudah berusia sekolah, kemungkinan besar akan melawan ketika diserang baik sengaja ataupun tidak sengaja. Apalagi jika melibatkan serangan kepada orang yang mereka sayangi seperti keluarga.

2. Trauma Emosional dan Psikologi

Anak yang tinggal dalam kondisi mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pada umumnya akan mengalami trauma emosi dan psikologi sebagai dampak dari perasaan takut dan temperamen selama berada di rumah.

Dikutip dari Domestic Violance Prevention Centre Gold Coast Inc, anak yang sedang melihat orang tersayang diancam, direndahkan atau diserang fisik maupun seksual akan otomatis merespon terhadap kekerasan dengan memanipulasi pelaku yang ingin melukai orang tersayang tersebut.

Anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumahnya, umumnya memiliki masalah perilaku, dan emosional yang serupa akibat dari trauma masa kecilnya.

3. Depresi

Dikutip dari Womenshealth, anak yang tinggal dalam kekerasan dalam rumah tangga memiliki resiko yang besar mengulang siklus hubungan kekerasan yang sama seperti apa yang pernah ia alami.

Kemungkinan besar anak menjadi saksi atau korban kekersan akan mengalami masalah mental seperti derpesi atau stress yang berkepanjangan akibat dari trauma yang pernah ia alami bahkan hingga dewasa.

4. Perilaku yang Tidak Wajar

Anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga juga memiliki resiko tumbuh dengan perilaku yang tidak wajar, sehingga anak bisa melampiaskan perilaku yang ia adapatkan di dalam rumah.

Perilaku yang tidak wajar tersebut diantaranya adalah sering berbohong, mencuri, berkelahi hingga gemar melakukan bullying di lingkungan sekolah bahkan bermain, karena pola interkasi sosial yang buruk.

5. Masalah Makan dan Tidur

Jika anak dalam usia batita dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga sang anak akan menangis sejadi-jadinya dalam momen tertentu.

Hal ini menyebabkan batita akan mengalami masalah pada pola makan dan tidur yang sulit untuk diubah, sehingga penting bagi orang tua untuk memberikan perlindungan kepada sang anak.

Namun ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam menghadapi trauma pada anak tersebut antara lain:

1. Jauhkan anak dari tempat kekerasan terjadi

Jika berada di tempat kejadian perkara akan memancing ingatan dan emosi anak. Ini akan memperparah trauma pada diri anak.

Cara ini bisa dilakukan oleh orang tua dengan mengindari atau menjauhkan anak di tempat kejadian.

2. Berikan rasa aman

Ketika anak mengalami suatu trauma, perihal yang dirasakan adalah lingkungannya terasa tidak aman. Pembangunan rasa aman inilah yang perlu diperhatikan sejak awal oleh orangtua.

Rasa aman ditunjukkan melalui perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua. Pastikan Anda selalu ada untuknya dan berikan pengertian bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dengan begitu, kecemasan pada diri anak dapat berkurang dan meredakan traumanya.

3. Biarkan anak tetap bersosialisasi

Meskipun ada kecenderungan orangtua untuk merasa cemas atau khawatir bahwa kejadian serupa akan muncul, biarkan anak tetap bersosialisasi.

Membatasi sosialisasi anak justru akan menimbulkan rasa kesepian dan terisolasi pada diri anak. Rasa kesepian berpotensi mengingatkan anak pada kejadian traumatis yang pernah dialaminya dan memperbesar ketakutannya.

4. Alihkan perhatian anak dengan kegiatan yang positif

Anak yang mengalami trauma mendalam cenderung menunjukkan sikap murung, cemas, dan depresi. Untuk menghindarkannya dari perasaan tertekan tersebut, ajak anak untuk melakukan kegiatan menyenangkan yang positif dan disukai anak.

 Misalnya bermain sepak bola, melukis, memasak, atau kegiatan lain selain hobi yang dapat menyibukkan. Dengan begitu, pikiran negatif dan memori traumatis dapat teralihkan pada kegiatan-kegiatan tersebut.

5. Meminta bantuan psikolog untuk psikoterapi

Orang tua mungkin juga memerlukan pihak lain dalam mengatasi trauma anak.  Salah satunya adalah dari psikolog. Tujuannya adalah agar dapat dilakukan bentuk penanggulangan yang tepat dan efisien.

Dalam menangani masalah trauma, umumnya psikolog akan melakukan usaha penyembuhan dengan metode psikoterapi. Psikoterapi ialah upaya penyembuhan dengan metode wawancara. Anak akan diajak untuk berbicara dan didorong untuk mengekspresikan perasaannya.

Pada tahap yang lebih lanjut, anak juga diarahkan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi ke ranah yang lebih positif. Di sini, tidak hanya anak yang diajak untuk bicara, tetapi juga orang tuany bersama anak maupun terpisah

6. Berikan dukungan kepada anak

Tindakan kekerasan terhadap anak tidak hanya menimbulkan tekanan kepada si anak, tetapi juga kepada orang tuanya. Mengetahui buah hati menjadi korban tentu saja hati terasa teriris namun, apabila orangtua terus-terusan larut dalam kesedihan dan penyesalan, itu akan berdampak negatif terhadap anak.

Anak yang mengalami trauma justru membutuhkan dukungan dan semangat positif dari lingkungannya, terutama dari orang tua.

 Untuk itu, tetaplah optimis bahwa ke depannya akan baik-baik saja. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk mendukung dan membantu anak dalam mengembangkan rasa optimis dalam menghadapi masa depan.  

ADR

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved