Berita Pendidikan
Berbekal Baterai dan Sling Baja, Mahasiswa Unsoed Purwokerto Ciptakan Alat Deteksi Dini Longsor
Saat ditemui di kampusnya, Tito menjelaskan, alat buatannya ini merupakan pengembangan dari alat sistem peringatan dini yang sudah ada.
Penulis: Permata Putra Sejati | Editor: rika irawati
TRIBUNBANYUMAS.COM, PURWOKERTO - Bencana pergerakan tanah yang akhir-akhir terjadi di sejumlah desa di Banyumas, mendorong Tito Yudatama (22), mahasiswa Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menciptakan alat deteksi dini longsor yang ekonomis.
Tito yang tergabung dalam Tim Kolaborasi Pemuda Bersedekah berkreativitas merakit alat pendeteksi dini longsor yang mudah dibuat masyarakat, tentunya dengan harga terjangkau.
Selama kurang lebih dua bulan, dia melakukan ujicoba dan riset.
Saat ditemui di kampusnya, Tito menjelaskan, alat buatannya ini merupakan pengembangan dari alat sistem peringatan dini yang sudah ada.
• 6 Rumah Paling Terdampak Tanah Gerak di Karanglewas Banyumas, Pemdes Kesulitan Cari Lokasi Relokasi
• Dinding Rumah Mulai Retak Akibat Tanah Gerak, 40 Rumah di Cibangkong Banyumas Terancam Ambruk
• Lewat Pemkab, Perbarindo Banyumas Salurkan Bantuan Sembako Senilai Rp 25 Juta bagi Warga
• Peternakan Ayam di Lumpakuwus Banyumas Terancam Tutup, Pegawai Protes. Berawal dari Kasus Izin Usaha
Namun alat deteksi pergerakan tanah ini dibuat secara lebih sederhana agar masyarakat bisa membuat secara mandiri sehingga bisa hidup berdampingan dengan bencana.
"Komponennya itu berupa baterai 9 volt, boks hitam untuk membungkus komponen berbahan plastik, pasak, lalu sirine berukuran kecil, dan tali sling baja. Panjang tali sling baja ini menyesuaikan jarak lokasi yang akan dipasangi alat dengan titik yang diteliti," jelasnya, Rabu (27/1/2021).
Tito menjelaskan, alat buatannyaya memiliki cara kerja sederhana, yakni apabila pasak yang dipasang bergeser menjauhi sumber alat yang dipasang maka jek akan tercabut dan memicu suara sirine.
Menurutnya, alat buatannya ini cocok untuk skala kecil, kurang lebih 100 meter dari lereng menuju permukiman.
Namun, kurang cocok skala besar yang jaraknya jauh dari permukiman karena terbatas menggunakan sirine kecil.
Cara kerja alat ini merupakan secara mekanis yang diberi komponen kelistrikan.
Hal itu jelas berbeda dengan menggunakan sensor yang ada proses kalibrasi untuk mengetahui sensitivitasnya.
"Jadi, ada yang menggunakan panel surya dan aki juga mahal. Sensornya saja mungkin harganya mencapai Rp 2 jutaan," katanya.
• PPKM Kebumen Diperpanjang, Tempat Karaoke dan Wisata Tutup Hingga 1 Februari
• Pedagang di Gunungpati Semarang Jadi Korban Order Fiktif Makanan, Penipu Mengaku Dokter Puskesmas
• Ulah Pemuda Sebar Sampah di Jumutan Kudus Terekam CCTV, Pemdes Buru Pelaku Berdasar Wajah dan Motor
• Lewat Pemkab, Perbarindo Banyumas Salurkan Bantuan Sembako Senilai Rp 25 Juta bagi Warga
Oleh karena itu, Tito mengembangkan alat deteksi pergerakan tanah yang lebih ekonomis dan terjangkau bagi masyarakat yang tinggal di kondisi tanah labil.
"Alat ini tergolong murah dan ekonomis, tidak sampai menghabiskan biaya Rp 500 ribu. Sementara, alat pendeteksi longsor yang selama ini beredar seharga Rp 3,5 juta sampai ratusan juta," terangnya.
Dia bercerita, ide membuat alat ini berawal dari BPBD Magelang.