Berita Jateng

Gubernur Jateng Dikritik, Gejala Mual setelah Makan Spageti MBG Bukan karena Perut Anak Kaget

Pernyataan Gubernur Jateng Ahmad Luthfi soal perut anak kaget setelah menyantap menu MBG spageti sehingga mengalami mual dan muntah, dikritik.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: rika irawati
TRIBUNBANYUMAS/DOK HUMAS PEMPROV JATENG
CEK DAPUR MBG - Gubernur Jateng Ahmad Luthfi melihat langsung proses memasak makanan program makan bergizi gratis (MBG) di SPPG bersertifikat SLHS di Jebres, Kota Surakarta, Rabu (8/10/2025). Pernyataan Gubernur Luthfi soal perut anak 'kaget' setelah menyantap menu spageti dari MBG sehingga mengalami mual dan muntah, dikritik. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG – Pernyataan Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi soal perut pelajar 'kaget' setelah menyantap spageti sebagai menu makan bergizi gratis (MBG) sehingga memicu gejala mual dan muntah, dikritik.

Ahli Gizi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Fitriyono Ayustaningwarno mengungkap, mual dan muntah merupakan gejala keracunan makanan yang dapat dipicu kesalahan dalam proses memasak serta menyajikan makanan yang tidak memenuhi standar keamanan pangan.

Sebelumnya, Gubernur Luthfi menyoroti kasus dugaan keracunan makanan pada pelajar setelah menyantap MBG menu spageti.

Luthfi mengatakan, perut anak-anak yang terbiasa makan mi instan dimungkinkan kaget setelah menyantap spageti.

Namun, pernyataan Luthfi ini dipatahkan Fitriyono.

"Mi instan maupun spageti sama-sama berbahan dasar tepung terigu."

"Jadi, bukan karena anak-anak tidak terbiasa makan spageti tapi karena proses penyajian yang terlalu lama dari waktu masak hingga dikonsumsi," ujar Yusta, sapaan akrabnya, Jumat (10/10/2025).

Baca juga: Lagi, 12 Siswa SD di Banyumas Diduga Keracunan MBG, Kali Ini Menu Spageti

Ia menjelaskan, makanan matang seharusnya tidak dibiarkan di suhu ruang lebih dari empat jam. 

Jika lebih dari itu, mikroba dapat berkembang cepat di kisaran suhu 4–50 derajat Celsius, dimana ini merupakan zona berbahaya dalam keamanan pangan.

"Kalau di dapur MBG, proses produksi biasanya dimulai malam hari, sekitar pukul 21.00 sampai subuh, lalu makanan baru dikirim dan disajikan siang, jarak waktunya jauh lebih lama dari batas aman," ucapnya.

Selain waktu tunggu yang panjang, Yusta juga menyoroti risiko kontaminasi dalam sistem produksi masal. 

Satu dapur Satuan Pelaksana Penyedia Gizi (SPPG) bisa melayani ribuan porsi untuk beberapa sekolah. 

Sekolah yang jaraknya paling jauh otomatis punya risiko lebih tinggi karena distribusinya lebih lama.

"Kadang, proses memasak juga diulang karena keterbatasan alat."

"Misalnya, sayur dimasak tiga kali. Yang pertama, paling lama terpapar udara dan itu yang paling berisiko menimbulkan keracunan," jelasnya.

Solusi Cegah Keracunan

Sumber: Tribun Banyumas
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved