Berita Banyumas

Bongkar Fenomena Gadis Jual Keperawanan, Menteri PPPA : Mereka Korban

Ia menyebut istilah yang tepat untuk kasus tersebut adalah Anak yang Dilacurkan (AYLA), yang masuk dalam kategori korban Eksploitasi Seksual

Permata Putra Sejati/ Tribunbanyumas.com
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi (dua dari kanan) saat menjadi pembicara utama dalam Sidang Terbuka Senat Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), dalam rangka Dies Natalis ke-24 FK Unsoed, yang digelar di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Kamis (25/9/2025). 

TRIBUNBANYUMAS.COM, PURWOKERTO - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menegaskan fenomena anak yang disebut-sebut "menjual keperawanan" bukanlah persoalan moral semata, melainkan cerminan dari kegagalan sistem perlindungan anak di Indonesia.


Hal ini ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam Sidang Terbuka Senat Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), dalam rangka Dies Natalis ke-24 FK Unsoed, yang digelar di Purwokerto, Kabupaten Banyumas.


Dalam penyampaiannya bertema "Kekerasan Seksual pada Usia Dini: Membongkar Akar, Merespon Fenomena Anak Menjual Keperawanannya", Menteri Arifah menolak narasi publik yang menyalahkan anak. 


Ia menyebut istilah yang tepat untuk kasus tersebut adalah Anak yang Dilacurkan (AYLA), yang masuk dalam kategori korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA).


"Mereka bukan anak yang melacurkan diri, tapi anak yang dilacurkan.

Mereka korban, bukan pelaku. Korban dari kemiskinan, keluarga yang tidak harmonis, keterbatasan akses pendidikan, dan lemahnya sistem perlindungan negara," kata Menteri Arifah di hadapan sivitas akademika Unsoed.


Menteri Arifah juga menyinggung kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih menjadi fenomena gunung es. 


Artinya, jumlah yang tercatat secara resmi jauh lebih sedikit dibanding kasus yang benar-benar terjadi.


"Terkait dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, ini merupakan tugas kita bersama. 


Bagaimana kita bisa menyelesaikan dan mencari solusi terbaik terhadap persoalan-persoalan," ungkapnya dalam sambutan, Kamis (25/9/2025). 

Baca juga: Mall Pelayanan Publik Cilacap Sering Terlihat Sepi, Tak Efektif Layani Masyarakat? Ini Kata Pemkab


Mengutip Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024, Arifah menyampaikan 51,78 persen anak perempuan dan 49,83 persen anak laki-laki usia 13–17 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan dalam hidupnya.


Sementara itu, data Simfoni PPA periode Januari hingga 20 September 2025 menunjukkan kekerasan seksual terhadap anak masih menjadi jenis kekerasan paling dominan.


Kekerasan terhadap perempuan terbanyak terjadi dalam lingkup rumah tangga (KDRT).


Tak hanya itu, lingkungan pendidikan tinggi yang selama ini dianggap steril dari kekerasan pun ternyata menyimpan banyak kasus.


"Sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, dan 63 persen kasus tidak pernah dilaporkan," katanya mengutip hasil Survei Kemendikbudristek tahun 2020.


"Kampus tidak lagi steril dari kekerasan. 


Lingkungan akademik pun bisa menjadi ruang tidak aman bagi perempuan dan anak," tambahnya. 


Menteri Arifah juga mengungkapkan lima faktor utama yang menjadi penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak berdasarkan analisa internal Kementerian PPPA:


"Yang pertama adalah faktor ekonomi. Yang kedua adalah relasi dalam keluarga. Yang ketiga adalah faktor media sosial yang tidak bisa digunakan secara bijaksana. 


Yang keempat faktor lingkungan. 


Dan yang kelima adalah pernikahan usia anak," tambahnya. 


Untuk itu, ia mengajak semua pihak bergandengan tangan dalam menangani permasalahan ini secara menyeluruh.


"Jadi ayo kita bergandengan tangan dengan seluruh pihak bagaimana kita mencarikan solusi yang terbaik," ungkapnya. 


Sebagai bagian dari upaya kolaboratif tersebut, Kementerian PPPA sedang memproses penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Unsoed.


"MOU dengan Unsoed sedang akan kita proses supaya bisa ada keberlanjutan dari kegiatan hari ini, sehingga ada sinergi, kolaborasi, dan kerjasama antara Unsoed dengan Kementerian PPPA," jelasnya. 


Terkait dunia pendidikan, pemerintah telah mewajibkan semua kampus membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) melalui Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024.

Baca juga: Sempat Tertutup Longsor, Lalu Lintas Jalan Krakal-Igirmranak Wonosobo Kini Sudah Normal


Seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah membentuk Satgas PPKS.


Namun baru 147 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang telah memiliki Satgas serupa.


Selain itu, Menteri Arifah juga menyinggung pentingnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai landasan hukum yang kuat dan komprehensif.


"UU ini sebagai salah satu capaian penting dalam memutus rantai kekerasan seksual secara sistemik," katanya. 


Sebagai bentuk pendekatan berbasis komunitas, Kementerian PPPA telah menginisiasi program Ruang Bersama Indonesia (RBI) yang mendorong pelibatan masyarakat secara holistik dan berkelanjutan dari tingkat desa dan kelurahan.


"Semua ini bagian dari visi besar kita menuju Indonesia Emas 2045, di mana perempuan dan anak menjadi pusat pembangunan," tutupnya. (jti) 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved