Purbalingga

ASAL-USUL Situ Tirta Marta Purbalingga, Berawal dari Kendi Banyu Penguripan Jaka Kusuma yang Pecah

Kemunculan mata airnya tak lepas dari kisah Pangeran Jaka Kusuma yang terjatuh saat membawa kendi keramat.

TRIBUN BANYUMAS/ FARAH ANIS RAHMAWATI
WISATA SITU TIRTA MARTA, Suasana di depan gerbang masuk objek wisata Situ Tirta Marta di Desa Karangcegak, Kutasari, Purbalingga, Minggu (14/9/2025). Wisata air ini memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan legenda Pangeran Jaka Kusuma dan mata air Tuk Sirah. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, PURBALINGGA - Di balik kejernihan air dan kesejukan alamnya, objek wisata Situ Tirta Marta di Desa Karangcegak, Kecamatan Kutasari, Purbalingga, menyimpan sebuah Legenda dan sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri.

Kisah asal-usulnya bahkan terkait erat dengan keberadaan mata air Tuk Sirah yang berada di desa tetangga, Candiwulan.

Pengelola Situ Tirta Marta, Bangun Sugito atau Ito, menjelaskan bahwa cerita ini bermula dari seorang tokoh bernama Jaka Kusuma.

Baca juga: Mitos Situ Tirta Marta Purbalingga Bisa Sembuhkan Penyakit dan Tempat Bertemu Jodoh, Benarkah?

Legenda Kendi Pecah 

Menurut Ito, Jaka Kusuma adalah putra Adipati Purbalingga, Dipo Kusumo.

Suatu hari, Jaka Kusuma diutus ayahnya untuk mengantarkan sebuah kendi berisi banyu penguripan atau air kehidupan kepada pamannya yang sedang bertapa di Gunung Emas (nama kuno Gunung Slamet).

"Tetapi di tengah-tengah perjalanan, ternyata ia terjatuh dan kendinya pecah. Lalu muncullah mata air yang sebesar sirah atau kepala manusia. Sehingga sumber mata air tersebut dinamakan Tuk Sirah," terang Ito.

Setelah tugasnya gagal, Jaka Kusuma akhirnya bertapa di dekat mata air Tuk Sirah hingga moksa.

Dipercaya, sebuah petilasan di Desa Karangcegak merupakan makamnya.

Pecahan Mata Air Baru 

Seiring waktu, debit air di Tuk Sirah semakin membesar.

Pada masa kepemimpinan Eyang Camenggala, mata air itu diperintahkan untuk disumbat menggunakan sekam padi, ijuk, dan batu besar agar alirannya terkendali.

"Karena penyumbatan tersebut, akhirnya debit air Tuk Sirah pun berkurang dan mengakibatkan pecahnya mata air di beberapa wilayah. Salah satunya ada di Situ Tirta Marta ini," ujar Ito.

Dari Tirta Amarta ke Marta 

Mata air baru ini kemudian dikenal oleh masyarakat dan mulai dikelola oleh pemerintah daerah pada tahun 1973.

Sempat bernama Telaga Pancuran Mas, namanya diubah di era Bupati Goentoer Darjono.

"Saat itu dibangun untuk irigasi, sehingga namanya diganti menjadi Situ Tirta Amarta. Tirta yang berarti air, dan Amarta yang berarti abadi," katanya.

Namun, nama "Amarta" dirasa sulit diucapkan oleh masyarakat sekitar, yang terbiasa melafalkannya menjadi "Marta".

"Jadi sudah ngelambe mbak, atau sudah terbiasa diucapkan. Akhirnya sampai sekarang orang-orang mengenal wisata ini dengan nama Situ Tirta Marta," pungkasnya.

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved