TRIBUNBANYUMAS.COM, BATANG- Di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, sebuah prasasti berusia lebih dari seribu tahun berdiri menjadi saksi bisu sejarah Kerajaan Mataram Kuno.
Prasasti Sojomerto, yang ditemukan oleh warga pada tahun 1950-an, menyimpan rahasia tentang garis keturunan Wangsa Syailendra, dinasti yang berkuasa di Nusantara pada abad ke-7.
Menurut Sekretaris Desa Sojomerto, Awal Setiarso, prasasti ini pertama kali ditemukan secara tidak sengaja saat warga tengah menggarap kebun.
Sebuah batu besar dengan pahatan aksara Kawi dan bahasa Melayu Kuno terlihat di bawah permukaan tanah.
“Awalnya, warga hanya berniat bercocok tanam, tetapi ketika membersihkan area tersebut, mereka menemukan tulisan yang kemudian diteliti lebih lanjut," ungkapnya.
Prasasti Sojomerto mengungkap nama seorang tokoh bernama Dapunta Syailendra, serta silsilah keluarganya yang mencakup ayahnya, Santanu, ibunya, Bradawati, dan istrinya, Sampula.
“Dapunta Selendra, sedangkan dirinya adalah sosok yang merupakan bagian dari garis keturunan Wangsa Syailendra yang berkuasa pada masa Kerajaan Mataram Kuno,” ungkapnya.
Ternyata setelah diteliti tulisannya itu merupakan silsilah keluarga dari kerajaan Mataram Kuno yang masih berhubungan dengan Candi Prambanan, Borobudur, dan Candi Dieng.
Baca juga: Bupati Fahmi Sesalkan Sampah Berserak di Alun-alun Purbalingga Usai Keramaian Malam Minggu
“Isi prasasti tersebut rupanya mampu menarik perhatian banyak orang lantaran penjelasannya mempunyai arti tersendiri bagi siapa saja yang ingin melihatnya secara langsung, untuk melihat bentuk sekaligus aksara yang terpahat di permukaan Prasasti Sojomerto ini,” terangnya.
Tak hanya menarik perhatian peneliti dalam negeri, prasasti ini juga menjadi objek studi bagi akademisi mancanegara.
Sejak tahun 1970-an, berbagai penelitian dilakukan untuk memahami konteks sejarahnya.
Kini, prasasti berbahan batu andesit dengan ukuran 45 cm × 30 cm × 80 cm ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi.
Menariknya, di dekat Balai Desa Sojomerto, warga membangun replika prasasti guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan warisan sejarah yang dimiliki.
“Kami ingin semua orang tahu bahwa peninggalan ini ada di sini, bukan sekadar batu tua, tetapi bagian dari identitas sejarah Indonesia,” pungkasnya.(din)