Ada sentimen islamophobia, laïcité (sekulerisme), rasisme, hingga stigma negatif yang menjadikan kehidupan beragama mereka tak semudah di Indonesia.
Meski demikian, mereka mengaku masih beruntung memiliki teman, keluarga, dan orang-orang berpikiran terbuka yang selalu mendukung.
Sementara, Quentin yang seorang mualaf berdarah Prancis-Italia berkisah tentang bagaimana pada usia 17 tahun, dirinya mengalami kecamuk batin yang membuatnya meragukan pondasi keimanan yang dianut keluarganya.
Pada akhirnya, setelah mengalami perjalanan berliku dan bermacam tantangan, hidayah menghampirinya dan dia memantapkan diri untuk bersyahadat.
Narasumber berdarah Prancis-Spanyol yang merupakan satu-satunya narasumber nonmuslim, Théo Averly, menjelaskan betapa berat menjadi Muslim di Prancis.
"Hukum Prancis tak melarang orang beribadah, namun masyarakatnya memiliki pemikiran berbeda."
"Pada akhirnya, orang-orang yang berpikiran terbuka dan logislah yang dapat merasakan betapa Islam sesungguhnya membawa rahmat," ungkap Théo sebagaimana dikutip oleh Komunitas Penggerak Literasi Litbar. (*)
Baca juga: Hotel Surya Yudha Purwokerto Managed by Salak Hospitality Sambut Ramadan dengan Promo Spesial Iftar