TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Mahalnya harga cabai di pasaran di Jawa Tengah diduga dipicu gagal panen dan berkurangnya petani cabai.
Hal ini disampaikan Sutrisno, petani cabai asal Desa Ceklatakan, Kecamatan Polosari, Pemalang,
Desa Ceklatan memang menjadi satu di antara sentra tanaman cabai yang terletak di lereng Gunung Slamet.
Hasil panen cabai dari wilayah ini biasa dikirim ke berbagai wilayah di Jawa Tengah.
Dijelaskan Sutrisno, sejumlah petani di wilayahnya mengalami gagal panen atau produksi berkurang karena cuaca buruk.
Dikatakannya, beberapa waktu terakhir, lereng Gunung Slamet dilanda hujan yang terus menerus.
Tak hanya itu, petani cabai juga beralih ke tanaman jenis lain karena tingginya biaya produksi tanam cabai.
"Di desa kami, yang biasanya bisa menghasilkan cabai 50 ton (dalam sekali panen per hari), kini hanya 10 sampai 20 ton setiap hari," ucapnya melalui sambungan telepon, Selasa (7/6/2022).
Baca juga: Harga Cabai Rawit di Kota Semarang Tembus Rp 90 Ribu/Kg, Pembeli Beralih ke Saus Sambal
Baca juga: Harga Bumbu Dapur dan Sayuran di Kendal Naik, Tertinggi Cabai Merah Keriting Tembus Rp 65 Ribu/Kg
Baca juga: Pencuri Mobil Pikap Antar-kota Ditangkap Polrestabes Semarang, Beraksi di Boyolali, Brebes, Kendal!
Baca juga: Pedagang Pasar di Semarang Kelimpungan Harga Tepung Terigu Naik, Merembet ke Harga Mi dan Kerupuk
Sutrisno mengatakan, berkurangnya petani cabai ini disebabkan harga pupuk dan obat-obatan untuk tanaman cabai yang melambung.
"Harga semua jenis pupuk dan obat-obatan tanaman, naik. Yang biasanya pupuk Rp 50 ribu, kini bisa Rp 120 ribu per karung," kata dia.
Mahalnya pupuk dan obat-obatan, dikatakan Sutrisno, membuat petani enggan menanam cabai.
"Di tempat kami, setidaknya, 20 hingga 30 hektare ditanami cabai. Tapi, karena semua mahal, kini hanya 15 hektare yang ditanami cabai. Sisanya, kentang dan jeruk," jelas dia.
Menurut Sutrisno, harga cabai di tingkat petani, di angka Rp 30 ribu-Rp 35 ribu per kilogram.
"Produktivitas cabai menurun juga disebabkan petani menghemat menggunakan pupuk dan pestisida. Alhasil, kuantitas dan kualitas cabai jadi tidak baik," papar Sutrisno.
Dia pun menyayangkan kondisi tersebut. Apalagi, dia merasa, tak ada perhatian dari pemerintah.
"Memang ada kartu tani tapi tetap saja tidak efektif. Saya sendiri mendukung program tersebut (kartu tani) namun pelaksanaannya di lapangan kurang baik," ucap dia.
Baca juga: Pengedar Sabu di Banyumas Ditangkap, Baru Ambil Paket di Tumpukan Kayu Depan Bengkel di Mersi
Baca juga: Adu Banteng Motor vs Truk di Bokol Purbalingga, Aniyah Tewas di Lokasi Kejadian
Baca juga: Nelayan Asal Pemalang Tewas di Tengah Laut, Sempat Mengeluh Lemas hingga Pingsan saat Menarik Jaring
Baca juga: Otak Pembuang Mayat Dua Sejoli di Sungai Serayu Divonis Seumur Hidup dan Dipecat dari TNI
Menurut Sutrisno, pelaksanaan pembelian pupuk bersubsidi menggunakan program kartu tani tak berguna.
"Karena begini, kalau masa tanam, pupuk langka, baik yang subsidi maupun tidak. Hal itu terjadi bertahun-tahun."
"Selain itu, regulasi tersebut tidak seragam, penerapannya. Di Pemalang, harus pakai kartu tani namun di daerah lain, bisa mengambil pupuk bersubsidi tanpa kartu tani," imbuhnya.
Ia berharap, pemerintah segera terjun ke lapangan guna mengatasi kondisi tersebut.
"Perhatikanlah nasib kami ini, padahal hasil pertanian juga menyumbang pendapatan untuk daerah," tambahnya. (*)