Berita Internasional

Tolak Bantuan Vaksin, Korea Utara Imbau Warga Minum Teh dan Jahe Herbal untuk Lawan Covid

Editor: rika irawati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kim Jong Un.

TRIBUNBANYUMAS.COM - Saat negara lain mulai beradaptasi dengan Covid-19, Korea Utara baru mulai menghadapi wabah yang ditimbulkan SARS-CoV-2 tersebut.

Sayangnya, mereka menolak bantuan vaksin yang ditawarkan. Alih-alih mengandalkan pengobatan medis, mereka menyarankan warga mengonsumsi herbal, di antaranya meminum teh dan minuman jahe.

Dikutip dari BBC Indonesia, Pemerintah Korea Utara sejauh ini menolak bantuan medis dari negara-negara lain.

Anjuran pengobatan tradisional untuk menangani apa yang mereka sebut sebagai 'demam' tersebut disampaikan media pemerintah.

Minuman hangat

Bagi warga yang tidak mengalami gejala berat, surat kabar partai yang berkuasa, Rodong Simnun, menganjurkan minuman herbal, di antaranya meminum teh lonicera japonica atau daun dedalu, minuman jahe, dan teh dari tanaman merambat honeysuckle yang berbau harum, dan juga minuman dari daun willow.

Jahe dan daun willow mengurangi inflimasi dan nyeri tapi tidak bisa digunakan sebagai obat melawan virus corona, lapor Rachel Schraer dan Wanyuan Song dari BBC Reality Check.

Baca juga: 50 Ribu Warga Korea Utara Dikabarkan Tewas di Tempat Karantina Covid-19

Baca juga: Korea Utara Akhirnya Umumkan Dugaan Kasus Virus Corona Pertama

Baca juga: Varian Baru Corona Ditemukan di Inggris, WHO Klaim Varian XE 10 Kali Lebih Menular dari Omicron

Baca juga: Cegah Varian Omicron Merebak, WHO Minta Negara di Asia-Pasifik Percepat Vaksinasi Covid

Produksi obat-obatan tradisional untuk mengurangi demam dan rasa sakit juga ditingkatkan. Dan, KCNA menyebutnya "efektif mencegah serta menyembuhkan penyakit yang berbahaya itu".

Air garam

Media pemerintah, baru-baru ini, mewawancarai pasangan yang merekomendasikan berkumur menggunakan air garam pada pagi dan malam hari.

"Ribuan ton garam diangkut secara darurat ke Pyongyang untuk memproduksi larutan antiseptik," tulis KCNA, dikutip dari kantor berita Reuters.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa berkumur menggunakan air garam dan membersihkan rongga hidung dengan air garam bisa membasmi virus yang menyebabkan flu.

Namun, belum cukup bukti yang menunjukkan air garam efektif melawan penyebaran Covid.

Obat penghilang rasa dan antibiotik

Media pemerintah juga mendorong pasien yang mengalami gejala Covid-19 untuk menggunakan obat penghilang rasa sakit dan antibiotik, semisal ibuprofen dan amoxicillin.

Ibuprofen dan paracetamol dapat menurunkan demam tubuh dan meringankan gejala-gejala, semisal pusing dan sakit tenggorokan tetapi tidak bisa mematikan virus atau mencegah penularan.

Pemerintah Korut mendirikan bangsal-bangsal darurat untuk isolasi. Selain itu, penyemprotan disinfektan kian intensif di berbagai wilayah.

Korea Utara pertama kali mengonfirmasi lonjakan kasus Covid-19 pada pekan lalu.

Terkait kondisi ini, muncul kekhawatiran kekurangan peralatan medis, obat-obatan, dan vaksin sehingga wabah ini bisa "menjadi petaka" bagi 25 juta penduduknya.

"Saya benar-benar khawatir mengenai berapa banyak orang yang akan meninggal," kata seorang pakar, sebagaimana dilaporkan wartawan BBC News, Thom Poole dan Robert Greenall.

Korea Utara tidak memiliki amunisi yang efektif dalam melawan Covid-19 dan ini menjadi tantangan luar biasa yang harus mereka hadapi.

Rakyat Korut tidak divaksinasi dan dengan asumsi bahwa kasusnya selama ini rendah, itu berarti, mayoritas masyarakatnya belum terpapar Covid-19 sehingga tidak memiliki kekebalan atas virus itu.

Itulah mengapa, muncul kekhawatiran bakal terjadi kematian dalam jumlah besar.

Pengujian Covid-19 juga sangat terbatas. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Korea Utara hanya melaksanakan sekitar 64.000 tes sejak awal pandemi.

Sebagai perbandingan, Korea Selatan yang menggunakan strategi tes dan penelusuran kontak untuk mengendalikan wabah, telah melaksanakan 172 juta tes sejak awal pandemi.

Data yang dimiliki pemerintah Korea Utara juga ambigu.

Pada Sabtu lalu, media pemerintah melaporkan setengah juta kasus demam yang tidak bisa dijelaskan.

Itu kemungkinan menggambarkan bahwa Korea Utara kesulitan mengidentifikasi kasus Covid-19, sekaligus menunjukkan skala wabah yang mereka hadapi.

Baca juga: Siap Arungi Liga 2! Mayoritas Skuad Persipa Pati, Muka Lama

Baca juga: Timnas Indonesia Krisis Pemain, Pelatih Shin Tae-yong Akui Ragu Hadapi Malaysia di Perebutan Perak

Baca juga: Korban Tewas Kecelakaan Bus Wisata di Tol Mojokerto Jadi 16 Orang, Korban Terakhir Alami Cedera Otak

Baca juga: Lakukan Penipuan Berkedok Arisan Online, 2 Warga Magelang Ditangkap Polisi. Keuntungan Rp 1 Miliar

Di negara-negara maju sekali pun, Covid-19 bisa menyebabkan sistem kesehatan kewalahan. Korea Utara sangat berisiko mengalami hal ini.

"Sistem kesehatan di sana cukup mengerikan," kata Jieun Baek, pendiri LSM yang memantau Korea Utara bernama Lumen.

"Sistem kesehatannya sangat bobrok. Di luar dua juta orang yang tinggal di Pyongyang, mayoritas penduduk hanya memiliki akses ke layanan kesehatan yang sangat buruk."

Para pembelot dari Korea Utara mengatakan bahwa fasilitas kesehatan menggunakan botol bir untuk menampung cairan infus dan menggunakan ulang jarum suntik sampai berkarat.

Sedangkan untuk masker dan sanitiser, "kita hanya bisa membayangkan betapa terbatasnya itu," kata Baek.

Akankah karantina wilayah berhasil?

Korea Utara telah menerapkan karantina wilayah untuk mengatasi wabah ini.

"Larangan dan penindakan terhadap pergerakan penduduknya akan menjadi lebih ketat," kata Baek memprediksi situasi di Korea Utara.

Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un mengatakan bahwa mereka perlu "secara aktif belajar" pada China dalam mengatasi pandemi.

Tetapi, di saat mayoritas negara di dunia telah menerapkan cara hidup bersama Covid-19, China berpegang teguh pada kebijakan nol-Covid.

Pemerintah China bahkan menerapkan karantina wilayah di kota-kota besar dan pusat bisnis semisal Shanghai sekali pun.

Dampaknya, penduduk Shanghai mengeluh bahwa mereka kekurangan makanan dan mendapat perawatan medis yang buruk.

Apabila Korea Utara memberlakukan strategi serupa, para ahli memperingatkan bahwa pasokan logistik dan kebutuhan medis bisa jauh lebih buruk dibanding apa yang terjadi di Shanghai.

Langkah itu juga dikhawatirkan tidak cukup untuk menghentikan penyebaran varian Omicron yang sangat menular.

"Lihat betapa sulitnya Shanghai menghentikan Omicron dan itu benar-benar membuang semua yang bisa mereka bayangkan mengenai wabah," kata epidemiolog dari Universitas Hong Kong, Ben Cowling.

"Di Korea Utara, saya rasa akan sangat sulit untuk mengendalikan ini [wabah Omicron]. Saya akan sangat, sangat khawatir pada titik ini."

Korea Utara juga masih menghadapi persoalan pada produksi pangan.

Negara ini pernah mengalami kelaparan parah pada era 1990-an.

Saat ini, Program Pangan Dunia PBB memperkirakan bahwa 11 juta dari 25 juta penduduk Korea Utara kekurangan gizi.

Apabila para petani tidak bisa bertani maka persoalan yang lebih besar akan menghadang.

Bantuan tersedia apabila Korea Utara bersedia menerima
China dan WHO sebelumnya telah menawarkan bantuan vaksin ke Korea Utara, namun mereka menolaknya.

Tetapi, pernyataan Kim Jong-un terkait China bisa jadi menandakan perubahan sikap.

"Saya menduga, mereka menginginkan bantuan dari China dan China akan menawarkan sebanyak mungkin," kata dosen studi Korea di Universitas SOAS London, Owen Miller.

Baca juga: Sosok Pelatih PSIS Semarang Belum Juga Diumumkan, Yoyok: Tunggu Sampai Tiba di Indonesia

Baca juga: Indonesia Bertahan di Peringkat 3 Klasemen Medali SEA Games 2021, Unggul Tiga Emas dari Singapura

Baca juga: Harga Emas Antam di Pegadaian Pagi Ini, Sabtu 21 Mei 2022: Rp 1.024.000 Per Gram

Namun, lanjut dia, Korea Utara mungkin tidak menginginkan bantuan lain dari luar, yang berarti, mereka kembali seperti era 1990-an di mana banyak lembaga bantuan internasional hadir di wilayah mereka.

Sejauh ini, belum ada tanda-tanda bahwa apabila krisis kesehatan melanda Korea Utara sekali pun, itu akan mengubah pendekatan negara itu dengan dunia. Penderitaan dan keterasingan bisa saja berlanjut.

"Mereka benar-benar hanya memiliki satu pilihan. Mereka harus menemukan cara untuk mendatangkan vaksin dan memvaksinasi masyarakatnya dengan sangat cepat," kata pakar vaksinasi dari US National School of Tropical Medicine, Peter Hotez.

"Dunia bersedia untuk membantu Korea Utara tetapi mereka harus bersedia menerima bantuan itu." (*)

Artikel ini sudah tayang di BBC Indonesia dengan judul "Covid di Korea Utara: Minum teh dan berkumur air garam dianjurkan untuk pengobatan di tengah lonjakan kasus, program vaksinasi belum dijalankan".

Berita Terkini