Menurut Marjani, letusan Kawah Sinilai terjadi pada suatu hari di bulan Februari 1979.
Kiamat kecil diawali dengan gemuruh yang didengar warga desa.
Tak hanya itu, mereka juga merasakan getaran yang mengoncang tanah dan bangunan.
Warga pun berlarian ke segala penjuru untuk menyelamatkan diri.
Bencana gas beracun nyatanya sulit diantisipasi warga.
Baca juga: Harga Emas Antam di Pegadaian Pagi Ini, Senin 14 Maret 2022: Rp 1.049.000 Per Gram
Baca juga: Marak Pencurian, Polisi Imbau Petani Adimulyo Kebumen Tak Biarkan Gabah di Tepi Jalan saat Malam
Baca juga: GPH Bhre Cakrahutomo Resmi Jadi Mangkunegara X, Penobatan Dihadiri Presiden Hingga Raja Trah Mataram
Baca juga: Kemenag RI Luncurkan Logo Halal Indonesia Mirip Gunungan, Berlaku Mulai 1 Maret. Ini Filosofinya
Tak seperti bencana longsor dimana arah datangnya luncuran tanah masih terlihat.
Atau, banjir, bisa diketahui darimana arah aliran air.
Namun, soal gas, warga tak bisa lagi menghindar. Apalagi, kala itu, edukasi terkait gas beracun di kawasan Dieng belum masih.
Maksud hati berlari menuju daerah aman namun mereka akhirnya tumbang karena sumber dan datangnya gas tak bisa diterka.
Mirip iblis tak berwujud. Penduduk seperti menghadapi musuh tak terliat.
Jalur yang mereka lewati justru menjadi jalan kematian.
Semburan gas beracun dari kawah secara cepat menyebar hingga masuk lubang-lubang hidung warga.
Gas yang masuk ke tubuh itu seakan mencekik mereka dari dalam. Warga ambruk dan mati bergelimpangan.
Kejadian ini pun menjadi satu di antara bencana mengerikan di Indonesia.
Ahli Geologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Sachrul Iswahyudi ST, MT mengatakan, kandungan panas bumi yang mengandung gas beracun memang menjadi potensi berbahaya di Dieng.