Berita Semarang

Ritual Rujak Pare bagi Warga Tionghoa Semarang, Menyantap Luka dan Merawat Ingatan Tragedi Mei '98

Puluhan orang berkumpul untuk mengenang luka Mei 1998 melalui ritual makan rujak pahit tradisi yang telah berlangsung sejak 2018

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: Rustam Aji
tribun jateng/Rezanda Akbar D.
RUJAK PARE - Rujak pare sambal bunga kecombrang sebagai simbol makanan tradisional pengingat tragedi Mei 1998/ TRIBUNJATENG.COM/Rezanda Akbar D. 

Dia berharap, seratus tahun dari sekarang, tiap bulan Mei, warga Semarang masih makan rujak pare untuk mengingat asalnya.

Baca juga: Syahdunya Wajah Baru Kota Lama Semarang, Suasana Kolonialisme yang Dipadu Modernitas

Acara kali ini juga menghadirkan Azmi Abubakar, pendiri Museum Peranakan Tionghoa di Bumi Serpong Damai.

Azmi, seorang muslim berdarah gayo, Aceh, dikenal karena konsistensinya menggali kontribusi komunitas Tionghoa dalam sejarah Indonesia. 

“Dulu orang Tionghoa perannya besar. Tapi sekarang orang Tionghoa juga harus berperan. Jangan cuma glorifikasi masa lalu,” ujarnya.

Harjanto berharap ritual ini menjadi ruang kohesi antarwarga, mengikis prasangka yang masih tersisa. 

“Tragedi Mei tidak disetujui oleh suku mana pun. Siapa yang tega?” katanya.

Ia mengenang momen mengharukan ketika pertama kali mengisahkan peristiwa 1998, seorang peserta dari etnis Jawa menangis. 

“Ibu itu bilang, ‘Saya orang Jawa, saya nggak tahu kejadian ini. Ternyata segitu parahnya."

Melalui suasana doa, obrolan lintas iman, dan rasa pahit pare di lidah, acara ini menyajikan bukan hanya makanan, tapi pelajaran kolektif. 

Bahwa luka sejarah bukan untuk dikenang dalam diam, tapi untuk diolah menjadi kekuatan agar tidak terulang. Karena hanya dengan mengingat, bisa saling menjaga. (Rad)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved