Berita Bisnis

Apindo Khawatir Gelombang PHK dan Pabrik Tutup Terus Terjadi, Imbas Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah

Apindo khawatir terjadinya PHK dan penutupan sejumlah perusahan jika nilai tukar Rupiah terus melemah. Selasa (18/6/2024), nilai Rupiah Rp16.400-an.

Editor: rika irawati
FREEPIK/8PHOTO
Ilustrasi uang Dollar AS dan Rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah yang mencapai Rp16.400-an per hari ini, Selasa (18/6/2024), dikhawatirkan bakal memicu gelombang PHK bahkan tutupnya sejumlah perusahaan. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani khawatir terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) atau bahkan perusahaan gulung tikar lantaran nilai tukar Rupiah yang terus melemah.

Pada Selasa (18/6/2024), nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS berada di level Rp16.400-an.

Menurut Shinta, pelemahan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 16.400 per dolar AS ini sangat tidak kondusif bagi dunia usaha.

"Depresiasi rupiah secara umum melemahkan produktivitas dan daya saing industri. Ini karena efek depresiasi rupiah terhadap berbagai industri relatif sama, yakni meningkatkan beban produksi existing," ujar Shinta kepada Tribunnews, Selasa (18/6/2024).

Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas atau memiliki market yang 'vulnerable', akan berkurang signifikan bahkan hilang sepenuhnya karena kompetisi pasar.

Hal ini memiliki risiko PHK, pengurangan kapasitas produksi, hingga penutupan usaha.

"Jadi, pengurangan pekerja karena depresiasi rupiah sangat terbuka. Meskipun demikian, kami tidak memproyeksikan PHK akan dilakukan secara masif pada saat yang bersamaan dalam waktu dekat."

"Kemungkinan, PHK justru akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yang disebabkan depresiasi rupiah," ucap Shinta.

Baca juga: Gejolak Perekonomian Mulai Dirasakan Pabrik Garmen Hingga Farmasi di Jateng, 6000 Buruh Terkena PHK

Shinta menyebut, industri paling rentan mengalami PHK adalah industri-industri yang memang sudah berusaha bertahan di pasar, khususnya industri-industri padat karya berorientasi ekspor.

"Di satu sisi, mereka tidak memiliki demand pasar yang kuat karena pelemahan pertumbuhan ekonomi global," terang Shinta.

Padahal, beban biaya operasional atau opex terus meningkat seiring kenaikan upah, suku bunga, dan beban-beban opex lain.

Depresiasi rupiah, menurut Shinta, semakin menambah beban-beban opex ini dan berimbas pada penurunan daya saing industri tersebut di pasar ekspor.

"Untuk industri lain, yang juga vulnerable terdampak negatif produktivitasnya adalah industri-industri manufaktur yang memiliki proporsi impor bahan baku atau penolong yang tinggi seperti industri mamin (makanan dan minuman), industri automotif, industri produk elektronik, dan lain-lain," ujar Shinta.

Shinta mengatakan, peluang terjadinya PHK di industri-industri tersebut jauh lebih kecil dibandingkan industri padat karya berorientasi ekspor karena basis pasar industri-industri ini umumnya adalah pasar domestik yang relatif stabil pertumbuhannya.

"Meskipun, bila depresiasi rupiah terus berlanjut dan berimbas pada inflasi kebutuhan pokok masyarakat, ya tentu akan ikut turun juga potensi pasarnya dan membuat industri-industri manufaktur nasional yang berorientasi pasar domestik juga ikut tertekan kapabilitasnya untuk mempertahankan tenaga kerja existing," tuturnya.

Baca juga: Gelombang PHK Melanda Industri Bulu Mata dan Rambut Palsu Purbalingga, 4.147 Buruh Jadi Korban

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved