Berita Nasional

Pemerintah Abaikan Rekomendasi KPK Soal Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, Pahala: Bisa Hemat Rp12,2 T

Pemerintah Abaikan Rekomendasi KPK Soal Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, Pahala: Bisa Hemat Rp12,2 T

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (kiri) didampingi Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan (kanan) memberikan keterangan terkait kajian tata kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/3/2020). Kajian ini ditujukan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan dari sisi efisiensi pengeluaran BPJS Kesehatan yaitu Adverse Selection dan Moral Hazard Peserta Mandiri, Over Payment karena Kelas Rumah Sakit Yang Tidak Sesuai dan Fraud di Lapangan. 

Dalam kajiannya, KPK menyebut pengeluaran klaim BPJS Kesehatan dapat dihemat sebesar Rp12,2 triliun tanpa menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Di sisi lain, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tidak akan efektif menutup defisit, karena akan membuat pesertanya tidak dapat membayar atau turun kelas.

TRIBUNBAYUMAS.COM, JAKARTA - Pemerintah mengabaikan 6 rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), guna menekan defisit neraca keuangan BPJS Kesehatan, tanpa harus menaikkan iuran kepesertaan.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, menyebutkan rekomendasi tersebut merupakan hasil Kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang dikerjakan KPK pada 2019.

Pahala menegaskan, rekomendasi tersebut telah disampaikan KPK kepada pemerintahan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo.

"(Rekomendasi) sudah (disampaikan) dalam bentuk surat dan lampiran. Belum ada respons," kata Pahala kepada Kompas.com, Jumat (15/5/2020).

Menurut Pahala, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini pun tidak akan efektif karena akan membuat pesertanya tidak dapat membayar atau turun kelas.

Minta Tinjau Ulang Kenaikan BPJS Kesehatan, KPK: Masalahnya Adalah Penyimpangan dan Inefisiensi

Wali Kota Solo Kritik Jokowi Soal Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, Rudy: Harus Bayar yang Mana?

BPJS Watch: Pemerintah Kehilagan Akal dan Nalar, Seenaknya Naikkan Iuran Kepesertaan

Nihayatul Wafiroh Kecewa Jokowi Kembali Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Masyarakat akan Gugat Lagi

Ia mengatakan, tingkat tunggakan pada tahun 2018, sebanyak 50 persen merupakan para peserta mandiri.

"Kalau dinaikkan, bisa jadi malah tidak bayar atau turun kelas. Nah, buat BPJS kan kenaikan ini hasilnya tidak akan seperti yang diharapkan," ujar Pahala.

Dalam kajiannya, KPK menyebut pengeluaran klaim BPJS Kesehatan dapat dihemat sebesar Rp12,2 triliun tanpa menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

"Kita proyeksikan sekitar Rp12,2 triliun itu bisa didapat bukan dalam bentuk tambahan uang karena rekomendasi tadi lebih banyak ke penurunan pengeluaran," tutur Pahala dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (13/3/2020) lalu.

Pahala memaparkan ada enam rekomendasi yang disampaikan kepada Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan agar pengeluaran dapat ditekan.

Pertama, Kemenkes mempercepat penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran untuk mencegah unnecessary treatment atau biaya tidak perlu, yang dapat meningkatkan pengeluaran.

Kedua, membuka opsi pembatasan klaim untuk penyakit katastroupik yang disebabkan gaya hidup tidak sehat.

Ketiga, mengakselerasi coordination of benefit dengan asuransi kesehatan swasta.

Keempat, mengimplementasikan co-payment sebesar 10 persen bagi peserta mandiri sesuai Permenkes 51 Tahun.

Kelima, mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit.

Kemudian, keenam adalah menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi tindakan curang (fraud) di lapangan.

"Jadi kalau dari penerimaan dikerjakan, tunggakan dikejar, dan dari ini spesifik untuk enam rekomendasi kita, rasanya defisit itu bukan hal yang harus ditutup dengan hanya kenaikan iuran," ujar Pahala.

Penyimpangan dan Inefisiensi

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan tak akan efektif untuk menutup defisit yang ada.

Sebab, menurutnya, akar permasalahan dari terjadinya defisit BPJS Kesehatan bukan pada rendahnya iuran.

Melainkan, karena adanya kecurangan, penyimpangan, dan efisiensi di dalam sistem BPJS Kesehatan. 

Karena itu, menurut Ghufron, KPK meminta pemerintah meninjau kembali keputusan menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Ia mengatakan, perihal tata kelola yang inefisiensi dan tidak tepat merupakan akar masalah defisit BPJS Kesehatan, termaktub dalam hasil Kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang dikerjakan KPK pada 2019.

"Akar masalah defisit BPJS disebabkan karena permasalahan inefisiensi dan penyimpangan (fraud)."

"Sehingga kenaikan iuran BPJS tanpa ada perbaikan tata kelola BPJS tidak akan menyelesaikan masalah," kata Ghufron, Jumat (15/5/2020).

Ghufron pun mengingatkan bahwa KPK telah memberi enam rekomendasi bagi Pemerintah untuk menekan defisit BPJS Kesehatan tanpa perlu menaikkan iuran.

"Jika rekomendasi KPK dilaksanakan, maka tidak diperlukan menaikkan iuran BPJS kesehatan yang akan dirasakan sangat membebani masyarakat."

"Mengingat situasi sulit yang sedang dihadapi saat ini dan potensinya yang berdampak di masa depan," kata Ghufron.

Ghufron menambahkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan memupus tercapainya tujuan jaminan sosial, di mana indikator utamanya adalah keikutsertaan dan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Dengan menaikkan iuran di kala kemampuan ekonomi rakyat menurun, dipastikan akan menurunkan tingkat kepersertaan seluruh rakyat dalam BPJS," kata Ghufron.

Tolak Isolasi, Pasien Positif Corona Malah Ngamuk, Kejar dan Peluk Warga di Sekitar Rumahnya

Diketahui, kenaikan iuran BPJS kali ini tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020).

Kenaikan iuran untuk peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34.

Kenaikan tarif mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.

Berikut rincian kenaikannya:

  • Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, dari saat ini Rp80.000.
  • Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp100.000, dari saat ini sebesar Rp51.000.
  • Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000.

Namun, pemerintah memberi subsidi Rp16.500 untuk kelas III sehingga yang dibayarkan tetap Rp25.500.

Kendati demikian, pada 2021, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp35.000.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, kenaikan iuran ini demi menjaga keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan.

"Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, dan tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan," kata Airlangga. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Rekomendasi KPK soal Defisit BPJS Kesehatan Tak Direspons Pemerintah

Cara Mudah Cek Kepesertaan Bansos Covid-19 Melalui Aplikasi, Simak Petunjuk Berikut Ini

Santri Temboro Positif Corona Orangtua Tuduh Bupati Zalim, Kaji Mbing: Klaster Ini Susah Dievakuasi

Mengenang Didi Kempot, Untung Blangkon: Diam-diam Mamiek Perhatikan Adiknya Ngamen di Lampu Merah

Perwiara Polisi Buron Gelapkan 71 Mobil Rental, Kombes Arie: Tak Menyerah Kami Tembak

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved