Wawancara Khusus
Ngobrol Bareng Abdul Kholik, DPD RI asal Jateng: Saya Setuju Pemekaran Wilayah di Jawa Tengah
Ngobrol Bareng Abdul Kholik, DPD RI asal Jateng: Saya Setuju Pemekaran Wilayah di Jawa Tengah
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: yayan isro roziki
Ngobrol Bareng Abdul Kholik, DPD RI asal Jateng: Saya Setuju Pemekaran Wilayah di Jawa Tengah
TRIBUNBANYUMAS.COM - Mendapat amanah sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Jawa Tengah dirasakan oleh Abdul Kholik sebagai orang yang beruntung dan harus disyukuri.
Terutama dia merupakan satu di antara empat anggota DPD asal Jateng terutama Cilacap, yang bisa 'tembus' duduk sebegai senator periode 2019-2024.
Pertama kali mencalonkan diri sebagai anggota DPD, hasilnya tidak lah mengecewakan.
Dia mampu mengantongi 1.420.065 suara dan masuk ke jajaran 10 besar suara terbanyak nasional.
Abdul Kholik ingin DPD tidak menjadi hiasan atau pelengkap parlemen, tetapi juga bisa betul-betul menjalankan fungsi dan peranannya.
"DPD ingin hadir di masyarakat. Sekaligus, ingin mendorong berbagai upaya perbaikan, peningkatan, dan sebagainya," ucapnya.
Saat mengunjungi Redaksi Tribun Jateng, Abdul Kholik Wakil Ketua Komite 1 DPD RI yang juga doktor alumni Unissula Semarang ini menjabarkan tupoksi anggota DPD RI serta problem yang terjadi di Jateng.
Sejumlah isu yang ada di Jateng juga dibahas dalam perbincangan dengan Pemimpin Redaksi Tribun Jateng, Erwin Ardian; Production Manager, Rustam Aji; News Manager, Iswidodo; dan Reporter, Mamdukh Adi Priyanto.
Berikut petikan wawancara Tribun Jateng dengan Abdul Kholik.
Bagaimana pemetaan masalah di Jateng menurut Anggota DPD RI?
Kami melihat selama ini, Pemerintah Provinsi Jateng yang dipimpin Pak Ganjar, memiliki kinerja cukup bagus.
Hanya saja masih ada ada problem, yaitu luasnya wilayah Jateng itu sendiri. Bahkan gurauan kami Jateng itu bukan hanya layak provinsi besar melainkan sebuah negara.
Bayangkan saja penduduk Jateng itu sekitar 36 juta, melebihi Malaysia hanya 28 juta, Filipina, dan Arab Saudi yang sekitar 31 juta.
Pak Ganjar sudah bekerja bagus selama lima tahun ini bisa menurunkan angka kemiskinan dari 15 persen sampai 9,7 persen.
Tapi, kalau dikalikan jumlah penduduk, hasilnya tetap banyak, yakni sekitar 3,7 juta. Jumlah itu melebihi jumlah penduduk di satu provinsi kecil seperti Papua misalnya.
Persoalan ini yang memang tidak kelihatan. Dianggapnya, Jawa sudah maju, tapi nyatanya kemiskinan cukup besar.
Kami terus mendorong, support Pak Gubernur yang memang taft (gigih).
Menurut Anda apa penyebab kemiskinan di Jateng?
Kami melihat sekarang ada interkoneksi infrastruktur cukup bagus di Jateng. Tetapi, ada ketimpangan, ketidakseimbangan antara Jateng wilayah utara dan selatan.
Kami terus mendorong agar koneksi infrastruktur di kawasan selatan. Jalan tol, bandara, rel kereta api merupakan upaya untuk pengembangan infrastruktur.
Bandara, minimal kita harus punya empat dan merata di Jateng. Sudah ada dua yang besar yakni Bandara A Yani Semarang dan Adi Soemarmo di Solo. Keduanya terletak di ujung utara dan di tengah agak timur.
Kemudian, ada kekosongan di zona Jateng barat dan timur. Di Barat, ada Bandara Tunggul Wulung (Cilacap) dan Wirasaba (sekarang Bandara Jenderal Soedirman di Purbalingga) yang bisa dikembangkan.
Bandara Wirasaba informasinya sudah bisa digunakan pada Lebaran tahun ini.
Sedangkan di timur, ada Bandara Ngloram yang juga sedang dikembangkan untuk penerbangan skala menengah.
Kemudian, infrastruktur jalan di sisi selatan kurang jaringan. Saat ini tengah dibahas pembangunan jalan tol dari Tasik-Bandung kemudian nanti ke simpul selatan Jateng.
Karena itu, kalau buka data kemiskinan, pasti akan bertumpuk di Jateng bagian selatan, seperti Kebumen dan Banyumas.
Apa yang harus dilakukan menurut Anda?
Harus ada akselerasi ke depan. Mendorong adanya bandara, jalan tol, termasuk kereta api. Untuk kereta api kami kekurangan akses, beruntung sudah ada Joglosemarkerto (kereta dengan rute loop atau melingkar Jateng).
Ke depan, kami ingin ada kereta, seperti di Jogja ada Prambanan Express atau Pramex yang memiliki rute Solo-Jogja-Kutoarjo.
Mungkin, rute kereta Pramex bisa diperpanjang sampai Purwokerto-Cilacap, bahkan ke Pangandaran. Ini problem. Khusus untuk saya, ini jadi challenge sendiri, karena saya berasal dari selatan.
Kami berupaya agar ada keseimbangan, menghapus ketimpangan utara dan selatan. Kalau konektivitas infrasturtkrur lebih bagus, problem antar daerah bisa dikuragi.
Gini Ratio tinggi salah satunya itu. Infrastuktur jalan harus signifikan untuk mendongkrak daerah.
Apa sih isu menarik lainnya di Jateng?
Saya termasuk orang yang worry (cemas) standar keselamatan lalu lintas, khususnya bus pariwisata.
Padahal, potensi wisata di Jateng sangat bagus. Tapi, beberapa kali kecelakaan yang melibatkan bus wisata yang penumpangnya anak-anak.
Saya sudah ketemu dengan Kepala Dinas Perhubungan Jateng, ada sekitar 240 bus wisata di Jateng. Tetapi, sayangnya semua izin yang mengeluarkan merupakan pemerintah pusat, daerah tidak punya kewenangan.
Kalau seperti ini, tidak ada pengawasan di daerah. Standar keselamatan juga siapa yang mengawasi. Bisa saja kan anak kita melakukan field trip naik bus yang tidak laik standar keselamatan.
Kami mendapatkan aspirasi, agar bisa mengkomunikasikan ke pusat agar, pengawasan bisa dilimpahkan ke daerah.
Agar, daerah bisa mengecek, ada laporan rutin, bisa dipantau berapa jumlah bus yang ada, berapa sopir tetap, bagaimana standar kerjanya, bagaimana beban perjalanannya.
Mengenai pemekaran di Jateng apakah Anda setuju?
Itu jelas (ingin pemekaran). Pak Gubernur tahu persis. Saya termasuk orang yang lama terlibat di DPR proses pembentukan pemekaran daerah.
Di Jateng, Cilacap ada aspirasi itu (pemekaran), Cilacap Barat yakni Majenang dan sekitarnya ingin mekar.
Begitu juga dengan Brebes Selatan sedang proses. Yang terbaru, Banyumas lagi semangat-semangatnya ingin menjadi tiga daerah, yakni Banyumas, Purwokerto, dan Banyumas Barat.
Bahkan Banyumas saat ini sudah punya dua pengadilan, dua kejaksaan, level polres-nya pun sudah ditingkatkan menjadi polresta.
Artinya, tinggal penetapan status. Semuanya sudah siap.
Kenapa sebagian masyarakat daerah ingin ada pemekaran?
Lihat RSUD Margono Soekarjo di Purwokerto. Rumah sakit ini overload karena pasien di situ bukan hanya dari Banyumas dan sekitarnya, tetapi juga dari daerah-daerah seperti Brebes dan Tegal.
Karena standar pelayanan lengkap rumah sakit Margono itu tipe A. Di sisi lain, warga di Jateng seperti di daerah saya di Cipari (kecamatan di Cilacap) mau ke Purwokerto saja jauh.
Sedangkan fasilitas kesehatan yang terdekat tidak ada. Terpaksa, warga harus pergi ke provinsi tetangga, ke Kota Banjar atau pun Ciamis.
Daerah di ujung barat seperti kami, selalu dibuat iri dengan wilayah Ciamis, Banjar, Pangandaran dengan progres pembangunannya.
Warga di situ juga lebih memilih bikin SIM ke Banjar karena antrean sedikit, jarak lebih dekat daripada ke Cilacap yang jauh.
Pernah ngobrol pemekaran dengan Gubernur Ganjar?
Sudah. Pak Gubernur menunggu moratorium dari pemerintah pusat. Memang butuh pemahaman.
Lantaran Presiden juga saat ini tengah fokus bukan di wilayah itu, sehingga moratorium masih diberlakukan.
Padahal, melihat Undang Undang 23 terkait pembentukan daerah otonomi baru atau pemekaran itu dibebani daerah induk, bukan pemerintah pusat, sehingga lebih smooth.
Toh ada masa persiapan selama tiga tahun.
Apa peran DPD mengatasi persoalan di Jateng?
Kami punya forum seperti rapat kerja. Kami juga bisa memberikan rekomendasi terhadap kebijakan yang ada.
Teman- teman dari Kementerian kerap datang ke kami untuk berdiskusi dan mencari soulusi.
Outputnya bisa rekomendasi, yang bisa langsung mengintervensi kebijakan, kami juga memonitor secara langsung. Tapi yang terpenting, kami tidak terpaku pada kewenangan, tetapi pada hasil. (mam)