Berita Nasional

Sengketa Lahan di Desa Bulupayung Cilacap Tak Diselesaikan, Aktivis 'Semprot' Raja Juli dan Nusron

Hal itu terjadi di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Editor: Rustam Aji
Dok. Kementerian ATR/BPN
MENTERI ATR/BPN - Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Finalisasi Paket Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja pada Senin (22/9/2025). 

TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - Kekecewaan aktivis agraria Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, terluapkan di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Dewi Kartika meluapkan kekecewaan kepada dua menteri kabinet Merah Putih, yakni Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid, pada peringatan Hari Tani Nasional di DPR.

Pertemuan di Ruang Rapat Komisi XIII, sejatinya dihadiri lima menteri, yaitu Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid, dan Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana.

Kemudian, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dony Oskaria, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) Yandri Susanto, serta Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari.

Di mana, dalam rapat tersebut, pemerintah, DPR, dan organisasi petani membahas sejumlah konflik agraria yang tidak kunjung selesai selama puluhan tahun dan merugikan petani.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, langsung 'menyemprot' Menhut Raja Juli karena dinilai tidak bisa menyelesaikan konflik agraria yang berlangsung selama puluhan tahun. 

"Selama puluhan tahun itu, masyarakat telah menyampaikan aduan dan persoalan yang mereka rasakan. Namun, persoalan ini tidak kunjung ditangani pemerintah," ungkapnya. 

Dewi kemudian memberikan contoh, salah satunya adalah konflik agraria lahan pertanian dengan perusahaan BUMN, Perum Perhutani, di Desa Bulupayung, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. 

Baca juga: BRISIK! Program MBG Berujung Petaka Bagi Siswa, Siapa Bertanggungjawab?

“Di Kementerian Kehutanan, Bapak Raja Juli, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Saya pernah mengajak Bapak Raja Juli itu ke salah satu Desa Bulupayung di Cilacap,” ujar Dewi di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

BANTAHAN - Viral pemberitaan dari salah satu media nasional yang menunjukkan foto Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni bermain domino dengan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Abdul Kadir Karding,  Wakil Ketua Umum DPN Persatuan Olahraga Domino Indonesia Andi Rukman Nurdin Karumpa, dan pengusaha Aziz Wellang.
RAJA JULI - Viral pemberitaan dari salah satu media nasional yang menunjukkan foto Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni bermain domino dengan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Abdul Kadir Karding, Wakil Ketua Umum DPN Persatuan Olahraga Domino Indonesia Andi Rukman Nurdin Karumpa, dan pengusaha Aziz Wellang. (Kolase/Ist/tribunnews)

“Itu adalah konflik agraria puluhan tahun yang berkonflik dengan Perhutani,” lanjut Dewi.

Aktivis agaria ini menjelaskan bahwa 9.000 hektar lahan pertanian di Cilacap merupakan lumbung pangan nasional.

Menurutnya, saat bersama Raja Juli di daerah itu, pihaknya sudah menunjukkan kejanggalan konflik lahan pertanian yang diklaim sebagai lahan Perhutani. 

Karena, di lokasi itu tidak ada kawasan hutan, tetapi diklaim sebagai kawasan hutan. 

“Mana ada hutan? Kenapa tanah-tanah pertanian produktif yang dikerjakan oleh kaum tani itu tidak kunjung dibebaskan dari klaim-klaim kawasan hutan? Tidak kunjung dilepaskan dari klaim Perhutani?” tanya Dewi. 

Akibatnya, para petani tidak bisa mengangkut hasil panen, dan program-program pertanian tidak bisa masuk.

“Karena alasannya itu, ini adalah masih klaim Perhutani, masih PTPN (Perkebunan Nasional), masih kawasan hutan, masih di dalam HGU (Hak Guna Usaha),” tutur Dewi.

Baca juga: Ketua DPRD Pekalongan Bantah Anggotanya Punya Kredit Macet di BPR BKK: Belum Pernah Tandantangan

Raja Juli tak bisa mengelak.

Dia mengakui pernah datang ke Cilacap melihat hamparan padi yang menguning. 

Raja Juli menegaskan sudah berupaya melepaskan lahan pertanian itu dari kawasan hutan, namun terhambat. 

“Karena memang ada macet di Perhutani. Jadi memang kehutanan Perhutani ini menjadi satu kunci penting,” tutur Raja Juli.

Selain Raja Juli, Dewi juga menyemprot Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid karena tidak pernah memproses data-data yang diberikan oleh KPA.

Dewi menyampaikan, Kementerian ATR merupakan salah satu kementerian yang paling banyak diadukan terkait kasus-kasus pertanahan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman RI.

“Ada banyak kanal pengaduan, di Kementerian Agraria, Kementerian Kehutanan, bahkan mungkin di DPR. Tapi hanya untuk tempat mengadu, tidak ada kanal penyelesaian,” ujar Dewi. 

Padahal, KPA sudah berkali-kali menemui pihak ATR, bahkan bertemu langsung dengan Nusron Wahid untuk menyerahkan data yang dibutuhkan.

“Jadi ada problem, data-data kami itu ditumpuk, diarsipkan, tapi tidak dikerjakan,” tutur Dewi.

Nusron mengakui bahwa banyak data-data KPA yang diserahkan ke Kementerian ATR/BPN tetapi belum digarap.

Ia menyatakan sependapat dengan usul KPA mengenai prinsip keadilan dalam redistribusi tanah.

"Karena itu, sebagai bentuk komitmen kami mengamini data itu, kami sudah 10 bulan diangkat dipercaya menjadi Menteri ATR/BPN, kami belum tandatangani satupun perpanjangan dan pembaruan," kata Nusron.

Persoalan Agraria di Bulupayung Para petani di Desa Bulupayung yang sudah menggarap lahan pertanian sejak 1962, tetapi Perhutani mengeklaim kepemilikan Desa Bulupayung dan statusnya berubah menjadi bagian dari kawasan hutan.

Baca juga: Kecewa Partai Gerindra Batal Usulkan Pemecatan Sudewo, MPB Penuhi DPRD Pati dengan Spanduk Kritik

Meski masih diperbolehkan tinggal dan menggarap lahan pertanian di tanah seluas 2.000 hektar, sebanyak 3.000 keluarga petani tidak memperoleh bantuan dari negara, seperti pembangunan jalan dan irigasi, serta subsidi pupuk.

Padahal, Desa Bulupayung termasuk sentra pertanian pangan di Cilacap.

"Mereka harus mengeluarkan cost yang lebih ekstra atau biaya produksi pertanian. Belum terkait jaringan pasar yang memang tidak menentu dan juga dampak-dampak diklaim sebagai kawasan hutan. Akhirnya, dengan konflik yang terjadi di kehutanan ini, semakin terhimpit nasib para petani itu," ujar Benny dalam diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim di Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Kedua, para petani dari desa-desa di Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, juga bernasib sama seperti petani di Desa Bulupayung. Petani Sukasari sudah menggarap lahan pertanian sejak 1965.

Namun, status desa-desa di Kecamatan Sukasari berubah menjadi kawasan hutan pada 1996. Petani Jateng Belum Bebas dari Konflik Agraria

Alhasil, para petani di Kecamatan Sukasari juga merasakan ketidakhadiran negara akibat diklaim sebagai kawasan hutan.

Mereka memprotes tidak adanya pembangunan infrastruktur seperti jalan dan irigasi di Kecamatan Sukasari.

Ketimpangan Penguasaan Tanah Menurut data yang ada, satu persen kelompok elite menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi di Indonesia, sementara 99 persen penduduk harus berebut sisa lahan yang ada.

Dewi mengatakan, kondisi ini akhirnya semakin memperburuk ketimpangan ekonomi di sektor agraria.

"Ketimpangan ini mengarah pada meningkatnya jumlah konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah," jelas Dewi.

Konflik-konflik agraria ini berdampak langsung pada 1,8 juta keluarga yang kehilangan tanah serta mata pencaharian mereka.

Dewi juga menyoroti bahwa proyek-proyek investasi besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), food estate, kawasan ekonomi khusus, hingga militerisasi pangan terus meluas ke wilayah desa dan kampung, yang menyebabkan lahan petani dan wilayah adat semakin tergerus.

"Proyek-proyek besar ini merampas tanah petani dan wilayah adat, serta menutup akses mereka terhadap laut dan wilayah tangkapnya. Hal ini terjadi karena lahan sudah dikapling-kapling oleh pengusaha besar," ungkap Dewi.

KPA mengingatkan bahwa kegagalan reforma agraria yang terjadi dalam 10 tahun terakhir harus menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk segera bertindak.

"Berkaca pada kegagalan GTRA selama 10 tahun terakhir, kami mendesak Presiden Prabowo untuk segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif, yang berada langsung di bawah kendali Presiden," kata Dewi mengakhiri pernyataan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR"

(firda/danu/kps)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved