Dari 110 kawasan perumahan di Semarang, kurang dari 5 persen yang terlayani angkutan umum.
Baca juga: Anak Rentan Jadi Korban Cyber Bullying, Disdik Kota Semarang Imbau Orangtua Dampingi Anak
Selain itu, ia menyoroti permasalahan teknis di lapangan, di antaranya asap hitam yang kerap mengepul dari bus Trans Semarang dan mengganggu pengendara lain sehingga dijuluki cumi-cumi darat.
"Banyak yang harus dibenahi, misalnya mengganti armada dengan bus listrik supaya lebih modern dan menarik minat anak muda."
"Lupakan saja LRT itu. Berat, karena ongkosnya sangat tinggi," tegasnya.
Djoko menilai, potensi penumpang LRT di Semarang masih rendah.
Jika dipaksakan, moda ini dikhawatirkan menjadi beban operasi bagi PT KAI atau operator lain karena permintaan yang kecil.
Ia mendorong pemerintah daerah mencari sumber pembiayaan alternatif untuk transportasi berbasis jalan, seperti Corporate Social Responsibility (CSR) dari BUMN atau swasta untuk pengadaan bus, serta pendapatan non-tarif melalui iklan di halte dan badan bus.
"Daripada membangun LRT yang mahal dan belum tentu diminati, lebih baik modernisasi Trans Semarang, buat jalur busway, gunakan bus listrik, dan perluas akses ke kawasan perumahan."
"Itu lebih realistis dan berdampak langsung bagi warga," kata Djoko.
"Berangan-angan boleh, tapi saat ini yang dibutuhkan adalah transportasi publik yang terjangkau, menjangkau banyak warga, dan bisa segera dioperasikan," katanya. (*)