Pelecehan di Unsoed

BREAKING NEWS: Oknum Guru Besar FISIP Unsoed Diduga Lecehkan Mahasiswi, Rektorat Gelar Rapat

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MAHASISWA LAWAN KEKERASAN - Sejumlah mahasiswa membentangkan spanduk protes di depan Gedung Rektorat Unsoed, Purwokerto, Rabu (23/7/2025), untuk menyuarakan keprihatinan atas kasus dugaan kekerasan atau pelecehan seksual oleh oknum guru besar. Aksi ini dilakukan dengan cara menuliskan tuntutan tegas pada spanduk, mendesak Unsoed untuk melindungi korban dan tidak menutupi kasus yang diduga melibatkan seorang profesor FISIP tersebut.

TRIBUNBANYUMAS.COM, PURWOKERTO - Sebuah kasus dugaan kekerasan atau pelecehan seksual kini tengah mengguncang Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Korbannya adalah seorang mahasiswi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed Purwokerto.

Terduga pelakunya pun bukan orang sembarangan.

Baca juga: Dosen Unnes Semarang Terbukti Lakukan Pelecehan Seksual kepada 4 Mahasiswa, Disanksi 2 Tahun

Ia adalah seorang oknum dosen yang telah menyandang gelar profesor atau guru besar.

Kasus yang menyoroti relasi kuasa ini pun memicu keprihatinan dari kalangan mahasiswa.

Mereka mendesak agar pihak Rektorat Unsoed segera mengambil tindakan yang tegas dan adil.

Sebagai bentuk protes, sekelompok mahasiswa menggelar aksi di depan Gedung Rektorat Unsoed.

Aksi tersebut digelar pada Rabu (23/7/2025) siang.

Mereka membentangkan sebuah spanduk dengan tulisan yang sangat mencolok.

Spanduk itu berbunyi, "Unsoed Darurat Kekerasan Seksual dan Lindungi Korban Bukan Pelaku".

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed Purwokerto, M Hafizd Baihaqi, turut angkat bicara.

Ia menyatakan aksi ini adalah inisiatif murni dari mahasiswa yang peduli.

Tujuannya adalah untuk memastikan pihak kampus tidak melindungi pelaku.

“Kami menyuarakan keprihatinan."

"Kami ingin kampus menjalankan prosedur secara transparan dan menindak pelaku seadil-adilnya," ujar Hafizd kepada Tribunbanyumas.com, Kamis (24/7/2025).

Menurutnya, kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum guru besar ini sudah dilaporkan.

Laporan telah masuk ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Unsoed Purwokerto.

Satgas PPKS pun telah menyelesaikan tugasnya dengan melakukan penyelidikan.

Hasil penyelidikan beserta rekomendasi sanksi sudah diserahkan kepada tim Rektorat.

Nantinya, hasil tersebut juga akan dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti).

Pihak Rektorat Unsoed pun memberikan respons atas aksi mahasiswa tersebut.

Wakil Rektor III Unsoed, Norman Prayogo, sempat menemui langsung para peserta aksi.

Ia membenarkan bahwa pihak kampus sedang memproses kasus ini secara internal.

Saat ini, Rektorat sedang menggelar rapat untuk membahas rekomendasi sanksi dari Satgas PPKS.

Ini menjadi sinyal bahwa nasib oknum guru besar tersebut akan segera diputuskan.

Namun, pernyataan yang lebih hati-hati datang dari Juru Bicara Unsoed, Prof. Mite Setiansah.

Pihaknya mengaku masih terus mengumpulkan informasi yang lebih lengkap.

"Kami sambil mengumpulkan informasi lebih lengkap," ucapnya singkat.

Kini, seluruh civitas akademika dan masyarakat luas menantikan hasil dari rapat Rektorat Unsoed.

Publik berharap ada keputusan yang adil dan berpihak pada korban.

Kasus yang diduga melibatkan seorang guru besar dan mahasiswi ini menjadi ujian berat bagi Unsoed.

Universitas dituntut untuk membuktikan komitmennya dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual.

Rekam Jejak dan Cara Unsoed Tangani Korban Pelecehan

Mencuatnya kasus dugaan kekerasan seksual oleh oknum guru besar kini menempatkan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Unsoed di bawah sorotan publik.

Banyak pihak bertanya, bagaimana sebenarnya cara Satgas PPKS Unsoed dalam menangani laporan dari korban kekerasan seksual?

Untuk menjawabnya, bisa berkaca dari kasus besar yang pernah mereka tangani pada tahun 2024 lalu.

Kasus pada tahun 2024 itu menunjukkan bahwa Satgas PPKS Unsoed memiliki prosedur yang jelas dan berpihak pada korban.

Saat itu, Satgas PPKS Unsoed dihadapkan pada kasus yang menimpa empat mahasiswi sekaligus.

Mereka menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang pria berinisial MD.

Pelaku MD saat itu bukanlah bagian dari civitas akademika Unsoed, melainkan predator dari luar.

Modusnya adalah dengan menawarkan pekerjaan sebagai model iklan kepada para mahasiswi.

Ketua Satgas PPKS Unsoed, Tri Wuryaningsih, dalam arsip pemberitaan Sabtu, 21 September 2024, menjelaskan langkah-langkah mereka.

Ternyata, langkah pertama Satgas PPKS Unsoed saat menerima laporan bukanlah langsung mendorong ke ranah hukum.

Fokus utama mereka adalah kondisi mental para korban.

Mereka memastikan para korban mendapatkan pendampingan psikologis yang intensif.

“Ada pendampingan psikolog korban terlebih dulu sebelum laporan ke pihak berwenang,” kata Tri Wuryaningsih saat itu.

Tujuannya adalah untuk memulihkan dan menguatkan kembali mental para korban yang terguncang.

"Penguatan mentalnya dulu, sebelum penanganan kasus, itu penting," tambahnya.

Setelah memastikan para korban siap secara mental, barulah Satgas PPKS Unsoed memfasilitasi proses pelaporan ke polisi.

Selain itu, Satgas PPKS juga proaktif berkomunikasi dengan pihak keluarga.

Pihak kampus mendatangi langsung rumah orang tua korban.

Mereka memberikan penjelasan yang utuh mengenai kasus yang menimpa anak-anak mereka.

Langkah-langkah inilah yang menjadi standar operasional Satgas PPKS Unsoed dalam menangani korban kekerasan seksual.

Kini, dengan berkaca dari kasus 2024 tersebut, publik bisa melihat bahwa Unsoed sebenarnya memiliki mekanisme yang sudah teruji.

Namun, kasus oknum guru besar yang terjadi saat ini memiliki tantangan yang berbeda dan lebih kompleks.

Jika pada kasus 2024 pelakunya adalah orang luar, kini terduga pelakunya adalah orang dalam dengan posisi kuasa yang sangat tinggi.

Mahasiswa pun telah menggelar aksi menuntut agar pihak Rektorat tidak melindungi pelaku.

Rekomendasi sanksi dari Satgas PPKS kini sudah berada di tangan Rektorat.

Publik menantikan, apakah prosedur yang sama, yang mengutamakan dan melindungi korban, akan diterapkan dengan tegas dalam kasus internal yang sensitif ini.

(*)

Berita Terkini