Dalam kehidupan sosial, toleransi ini bisa diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu peribadatan mereka, menghormati hari besar mereka, bahkan memberi ucapan selamat sejauh tidak mengandung unsur pengakuan terhadap keyakinan yang bertentangan dengan aqidah.
Ulama seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi dan MUI sendiri membolehkan ucapan selamat Natal atau Paskah sebagai bentuk toleransi sosial, selama tidak mengandung pengakuan teologis.
Toleransi yang Mencerahkan
Perbedaan teologis antara Islam dan Nasrani adalah keniscayaan yang telah berlangsung sejak ribuan tahun.
Namun alangkah indah jika umat Islam memaknai momen Paskah sebagai waktu refleksi untuk meneguhkan nilai-nilai rahmat, damai, dan kasih yang juga diajarkan oleh Nabi Isa ’alaihis salam.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Aku adalah orang yang paling dekat dengan Isa putra Maryam di dunia dan di akhirat, karena tidak ada nabi antara aku dan dia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka mari kita rawat kebersamaan ini. Bukan dengan menyamakan semuanya, tapi dengan saling menghargai perbedaan.
Toleransi bukan sekadar bersikap baik saat hari besar keagamaan, tapi juga merawat kedamaian dalam keseharian.
Karena pada akhirnya, kemuliaan suatu umat tidak hanya diukur dari kebenaran keyakinannya, tetapi juga dari cara ia memanusiakan sesama manusia yang berbeda. (*)