"Saya tidak mengecilkan pelanggaran asusila tidak, tetapi bisa dibayangkan kalau kemudian orang yang berjudi saja terbukti bahwa dia berjudi, melanggar hukum saja tidak boleh menjadi calon, bagaimana dengan mantan korupsi. Logikanya di mana?," ucap Wahyu, Selasa (5/11/2019) lalu.
Larangan seorang pezina, pemabuk, hingga pejudi maju sebagai calon kepala daerah tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pasal 7 huruf i Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 menyebutkan, warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota adalah yang tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
Adapun perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkoba, berzina, dan perbuatan yang melanggar kesusilaan lainnya.
Sedangkan larangan eks koruptor ikut Pilkada, kala itu, rencananya diatur KPU dalam rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020.
Batal melarang Meski sempat ngotot melarang eks koruptor maju di Pilkada, KPU pada akhirnya batal membuat larangan mantan narapidana korupsi ikut Pilkada 2020.
Semula, aturan tersebut akan dimasukkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pilkada.
Namun, berdasarkan dokumen salinan yang diterima Kompas.com, tidak satupun pasal dalam PKPU tersebut mengatur tentang larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon kepala daerah.
Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h, yang dilarang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya mantan terpidana bandar narkoba dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Meski batal, dalam PKPU tersebut, KPU memasukkan aturan baru yang pada pokoknya meminta partai politik mengutamakan calon yang bukan mantan terpidana korupsi di Pilkada 2020.
• Lanus Japan Rayakan Ulang Tahun ke-4, Doakan PSCS Lolos Liga 1
• Reynhard Sinaga Mengaku Pernah Bekerja di MU. Ini Respon Klub Berjuluk The Red Devils
"Diutamakan dan mengutamakan. Bahwa partai politik itu mengutakan yang bukan napi koruptor," kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik saat dikonfirmasi, Jumat (6/12/2019).
Namun, Wahyu justru menjadi tersangka karena disangkakan menerima suap dengan menjanjikan politisi PDI-P Harun Masiku agar ditetapkan menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024.
Menurut Wakil Ketua KPK Lily Pintauli Siregar, Wahyu diduga meminta uang hingga Rp 900 juta ke Harun.
"Untuk membantu penetapan HAR (Harun Masiku) sebagai anggota DPR-RI pengganti antar-waktu, WSE (Wahyu Setiawan) meminta dana operasional Rp 900 juta," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis.
Lili mengatakan, penerimaan uang tersebut dilakukan dalam dua tahap yaitu pada pertengahan Desember 2019 dan akhir Desember 2019.