Berita Batang

BI Tegal Boyong 7 Desa Wisata Pantura 'Curi Jurus' ke Desa Juara Dunia di Jogja

Ingin naik kelas, 7 desa wisata dari Pantura belajar langsung ke para jawara. Apa rahasianya?

Penulis: dina indriani | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUN BANYUMAS/ DINA INDRIANI
TIMBA ILMU WISATA - Perwakilan tujuh desa wisata Pantura mengikuti paparan saat studi tiru di Desa Wisata Krebet, Yogyakarta, Rabu (23/7/2025), untuk belajar tentang pariwisata berbasis komunitas. Mereka menimba ilmu dengan cara berdiskusi langsung dengan pengelola setempat mengenai strategi pengembangan wisata dari potensi kerajinan batik kayu. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, PEKALONGAN - Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Tegal memboyong tujuh pengelola desa wisata untuk menimba ilmu.

Tujuh desa wisata ini berasal dari wilayah Eks Karesidenan Pekalongan.

Tujuan mereka adalah untuk 'mencuri jurus' dari para jawara pariwisata.

Baca juga: Sukses Natculture Festival 2025, Dusun Kuwondogiri Kian Eksis sebagai Desa Wisata di Banjarnegara

Lokasi untuk menimba ilmu adalah tiga desa wisata unggulan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Jogja).

Kegiatan ini merupakan upaya BI Tegal untuk memperkuat para pelaku wisata lokal.

Harapannya, ekosistem pariwisata berbasis masyarakat di wilayah Pantura bisa tumbuh pesat.

Salah satu peserta, Aminudin dari Deswita Pandansari Batang, mengaku mendapat banyak inspirasi.

Destinasi pertama yang mereka kunjungi adalah Desa Wisata Krebet.

Desa Krebet ini dikenal luas dengan produk batik kayu dan ukirannya.

Aminudin terkesan dengan semangat warga di desa wisata tersebut.

“Desa itu berdiri dari semangat warga, tanpa alokasi dana desa."

"Mereka menggabungkan seni budaya dan usaha kreatif jadi paket wisata yang bisa dipesan online maupun manual,” ujarnya, Rabu (23/7/2025).

Prestasi Desa Krebet pun tak main-main.

Desa ini berhasil meraih Juara I ADWI 2024 untuk kategori Kelembagaan dan SDM.

Selanjutnya, rombongan desa wisata Pantura ini belajar ke Desa Wisata Nglanggeran.

Desa wisata ini dibangun di atas tanah kasultanan milik Sultan Yogyakarta.

Aminudin menjelaskan 'jurus' sukses dari Nglanggeran.

Inisiatifnya lahir dari komunitas kreatif anak-anak muda lokal.

Mereka sukses mengembangkan potensi kakao, embung, dan pertanian wisata.

"Banyak kelompok tani dilibatkan."

"Bumdes juga aktif membangun infrastruktur dan mendukung pelatihan pelaku usaha,” jelasnya.

Bahkan, desa wisata ini menerapkan sistem bagi hasil yang adil.

Ada pembagian 10 persen dari total penjualan tiket wisata untuk masyarakat.

Destinasi terakhir untuk 'mencuri jurus' adalah Desa Wisata Wukirsari di Imogiri, Bantul.

Desa ini merupakan salah satu desa wisata kelas dunia.

Prestasi Deswita Wukirsari sangat membanggakan.

Desa ini merupakan Juara 1 Desa Wisata Maju ADWI 2023.

Wukirsari juga berhasil masuk dalam daftar Desa Wisata Terbaik 2024 versi UNWTO.

Statusnya sebagai desa wisata juara dunia menjadi alasan utama kunjungan ini.

Kepala Unit Data Statistik Kehumasan KPw BI Tegal, Agung Sukmonohadi, turut memberi penjelasan.

Ia menyebut Wukirsari adalah tujuan utama untuk belajar soal pengelolaan kampung batik.

"Tujuan kami adalah untuk belajar dan melihat langsung proses pengelolaan kampung batik."

"Karena itu, kami mengajak teman-teman media dan Pokdarwis agar bisa turut belajar, salah satunya di Kampung Batik Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul desa wisata yang diakui sebagai salah satu dari 55 desa wisata terbaik dunia versi UNWTO tahun 2024," pungkasnya.

Setelah pulang dari Jogja, Aminudin mengaku termotivasi.

Deswita Pandansari di Batang kini siap melangkah lebih jauh.

Mereka akan fokus memperketat SOP wisata demi keamanan pengunjung.

Sistem digital juga akan diperkuat.

Paket-paket wisata akan dijual melalui platform e-commerce.

Pengembangan produk olahan lokal seperti pisang dan kuliner khas juga menjadi prioritas.

Aminudin menyebut PR terbesar kini ada di tengah masyarakat.

“Kolaborasi sudah jalan, tinggal mendorong masyarakat agar makin sadar wisata,” imbuhnya.

Sekilas Desa Krebet

Ini adalah kisah Desa Krebet di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebuah kisah tentang transformasi dari dusun petani sederhana menjadi sentra industri kreatif yang mendunia.

Siapa sangka, denyut nadi kerajinan di desa ini berawal dari sebuah pekerjaan sampingan.

Dahulu, warga Dusun Krebet menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.

Keadaan geografisnya berupa perbukitan kapur yang kurang subur.

Sekitar tahun 1970-an, sebagian kecil warga mulai mencari pekerjaan lain di sela-sela bertani.

Mereka mulai membuat kerajinan sederhana berbahan baku kayu.

Produk pertama mereka adalah perkakas dapur seperti sendok kayu atau irus, siwur, dan beruk.

Awalnya, kerajinan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan warga dusun sendiri.

Kemudian, hasil kerajinan kayu itu mulai dipasarkan ke desa-desa tetangga.

Tujuannya hanya untuk menambah sedikit penghasilan.

Proses pembuatannya yang masih sangat sederhana membuat nilai jualnya belum tinggi.

Meski begitu, inilah cikal bakal lahirnya sebuah sentra kerajinan besar.

Perkembangan paling mendasar dari kerajinan kayu di Krebet diawali oleh seorang pria bernama Gunjiar.

Sekitar tahun 1972, pria yang kini berusia 65 tahun itu mulai mengembangkan bentuk-bentuk baru.

Ia membuat kerajinan yang membutuhkan detail ukiran lebih tinggi, salah satunya patung Semar.

Gunjiar belajar mengukir secara otodidak atau belajar sendiri.

Saat karyanya dipamerkan, banyak pengunjung yang menyukainya karena dianggap inovatif.

Suatu saat, ia mendapat pesanan untuk membuat sebuah topeng.

Gunjiar merasa tertantang dan memutuskan untuk magang di tempat Pak Warno Waskito.

Warno Waskito adalah seorang maestro perajin topeng yang sangat terkenal di Yogyakarta.

Setelah menimba ilmu, Gunjiar pun berhasil menyelesaikan pesanan topeng itu dengan sangat baik.

Ada pula perajin pelopor lain bernama Kemiskidi.

Ia adalah pendiri Sanggar Peni yang terkenal di Krebet.

Kemiskidi juga menimba ilmu membuat topeng dari empu yang sama, Warno Waskito.

Ia lalu mengembangkan kerajinan topengnya dan memasarkannya sendiri.

Dari hasil penjualan kerajinan itulah ia bisa melanjutkan pendidikannya hingga ke tingkat SMA.

Kini, Sanggar Peni miliknya mampu menyerap hingga 50 tenaga perajin.

Kisah berbeda datang dari Anton Wahono, pemilik Sanggar Punokawan.

Ia awalnya adalah seorang perajin wayang kulit.

Pada tahun 1988, pemerintah mengizinkan ekspor kulit mentah.

Akibatnya, bahan baku kulit di dalam negeri menjadi langka dan mahal.

Krisis ini memaksa Anton Wahono untuk memutar otak.

Ia pun beralih usaha dengan memproduksi wayang klithik yang terbuat dari kayu.

Kesuksesannya mengelola usaha bahkan berhasil mengantarkannya meraih gelar sarjana Sosiologi.

Seiring waktu, permintaan pasar akan kerajinan kayu terus meningkat.

Banyak warga yang awalnya petani mulai bekerja sebagai buruh perajin.

Dua sanggar pertama, Peni dan Punokawan, menjadi pusat kegiatan ekonomi baru.

Dari sanalah Desa Krebet perlahan berubah menjadi sentra batik kayu yang dikenal luas.

Perkembangan ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten Bantul.

Krebet ditetapkan secara resmi sebagai Desa Wisata.

Kementerian Perindustrian juga memfasilitasinya sebagai Klaster Batik Kayu.

Bantuan berupa pelatihan, alat, hingga fasilitasi pameran terus diberikan.

Kini, di Desa Krebet juga telah berdiri sebuah koperasi bernama Koperasi Sidokaton.

Koperasi ini beranggotakan 57 perajin batik kayu di Krebet.

Prestasi Desa Wisata Krebet pun semakin cemerlang.

Tahun ini, Krebet berhasil masuk dalam jajaran 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kala itu, Sandiaga Salahuddin Uno, bahkan memberikan pujian langsung.

“Ekonomi kreatifnya sudah kita miliki, sekarang dilengkapi dengan pariwisata yang mumpuni. Harapannya bisa menjadi desa wisata yang komplit. Semoga kerajinan batik kayu, kebudayaan njawani, dan adanya bank sampah menjadi unggulan dari Desa Wisata Krebet ini, sehingga menjadi pariwisata hijau berkelas dunia,” ungkap Sandiaga Uno.

Wakil Bupati Bantul kala itu, Joko Purnomo, juga berharap prestasi ini bisa menjadi pemacu semangat.

Kisah Desa Krebet adalah bukti nyata.

Bagaimana kerajinan sendok kayu para petani bisa berevolusi.

Kini, ia menjadi sebuah sentra batik kayu yang karyanya patut dibanggakan dan mendunia.

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved