Berita Cilacap
Dosen Unsoed Temukan Sebagian TKW Asal Cilacap Alami Kekerasan Seksual Tapi tak Berani Speak Up
Pekerja Migran Perempuan Indonesia (PPMI), mendapatkan berbagai persoalan ketika mereka bekerja di luar negeri.
TRIBUNBANYUMAS.COM, CILACAP- Pekerja Migran Perempuan Indonesia (PPMI), mendapatkan berbagai persoalan ketika mereka bekerja di luar negeri.
Masalah kesehatan menjadi yang paling umum dan dialami oleh 40 persen responden, bekerja tidak sesuai kontrak (22 persen), dan mengalami kekerasan seksual (5%), kekerasan fisik (8%).
Ini diungkap Dosen Ahli Migrasi Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed Dr.Tyas Retno Wulan.
Menurut Tyas, khusus untuk kekerasan seksual, diyakini data tersebut merupakan puncak gunung es, di mana data sebenarnya jauh lebih banyak.
Tidak terungkapnya kasus kekerasaan seksual yang dialami PPMI dikarenakan banyak kendala yang dihadapi korban, baik kendala psikologis maupun kondisi pekerjaan.
Hal itu terungkap dalam diseminasi hasil penelitian berjudul “Perlindungan Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dari Kekerasan Seksual (Studi Terhadap PPMI di Negara Penempatan (Hongkong) dan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah).”
Penelitian diawali dengan menyebarkan google form pada Komunitas Peker
Baca juga: Jelang PSIS Vs Malut United, Ormas di Semarang Ikut Jamin Keamanan Suporter Saat Pertandingan
ja Migran di Cilacap dan Hong kong, serta responden lain dari Jawa Tengah dan negara lain.
Subjek adalah para PPMI yang sedang bekerja di Hongkong dan mantan/calon PPMI yang berasal dari Cilacap Jawa Tengah.
"Kenapa kami memilih Cilacap dan Hongkong? Karena kami punya pertimbangan bahwa Cilacap merupakan kabupaten nomor 1 (satu) pengirim PPMI di Jawa Tengah dan Hongkong yang selama 3 tahun terakhir (2021 - 2023) menjadi negara penempatan paling diminati PMI, berdasarkan data yang dimiliki pemerintah,” ujar Tyas.
Lebih lanjut, Tyas menjelaskan bahwa kekerasan seksual yang dialami PMI meliputi berbagai bentuk, mulai dari menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman, mendapatkan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban, Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban, dan sebagainya.
Meskipun mengalami kekerasan seksual, banyak PPMI yang tidak melapor kepada pihak yang berwenang Hal ini karena mereka khawatir diblack list pihak imigrasi karena belum finish kontrak.
Akhirnya, mereka biasanya hanya bercerita kepada teman.
Baca juga: Menanti Pertandingan Paling Emosional, Dari Pelatih hingga Pemain Malut United Pernah Bergabung PSIS
Selain itu, banyak di antara mereka yang tidak tahu bagaimana cara melapor dan kepada siapa melapor, karena aksesbilitas yang terbatas (terutama PPMI yang baru datang).
“Perlu keberanian juga untuk berani bicara (speak up) supaya PMI punya posisi tawar kepada majikan. Keberanian itu, salah satunya bisa dikembangkan jika PMI bergabung dengan organisasi.
Hal ini karena dari data yang kami miliki, pihak yang paling sering dihubungi saat PMI mengalami kekerasan seksual adalah NGO atau organisasi PMI di negara tempat bekerja (37%), diikuti oleh Konsulat Jenderal RI (22%). Berikutnya adalah teman sesama PMI (18%) dan Agensi atau PPTKIS (10%),”’jelas Tyas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.