Berita Jateng

Proyek Tanggul Laut Raksasa di Pantura Ditentang Aktivis Lingkungan, Ini Dampak Negatifnya

Para aktivis dan peneliti lingkungan di Semarang mengkritik keras wacana proyek Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa

Penulis: iwan Arifianto | Editor: khoirul muzaki
TRIBUNBANYUMAS/IWAN ARIFIANTO
Pengerjaan tanggul laut sekaligus Tol Semarang-Demak seksi 1 di pesisir Pantai Trimulyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, Sabtu (29/7/2023). Pembangunan tanggul laut ini tak hanya membabat hutan mangrove tetapi juga merugikan nelayan. 

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG -  Para aktivis dan peneliti lingkungan di Semarang mengkritik keras wacana proyek Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa yang diklaim pemerintah bakal menyelesaikan persoalan pesisir pantura.

Mereka menilai proyek GSW  sebagai proyek aspirasi "maskulin" yang diadopsi dari luar negeri tanpa mendengarkan suara warga lokal.

"Giant Sea Wall suntikan dari Belanda terlihat sekali aspirasi seperti itu merupakan aspirasi maskulin dari luar tanpa mendengarkan terlebih dahulu suara warga lokal," ujar Peneliti Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS) Eka Handriana dalam diskusi publik Dampak Giant Sea Wall (GSW) Terhadap Kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa melalui zoom, Jumat (12/1/2024).

Ia menuturkan, proyek GSW misal dijalankan berarti tak memperdulikan kondisi masyarakat pesisir.

Baca juga: Marak Razia Knalpot Brong Bikin Pengrajin Knalpot Purbalingga Resah, Takut Omzet Turun

Seharusnya pemerintah  mendengarkan orang pesisir pantura seperti Semarang dan Demak terkait persoalan yang mereka hadapi seperti kecemasan dan betapa susahnya saat kedatangan banjir rob. 

"(Pemerintah) selalu solusinya tanggul dan tanggul tanpa peduli masyarakat nanti susah cari makan dan sumber kehidupannya hilang," jelasnya.

Menurutnya, kerusakan Pesisir pantura saat ini akibat pembangunan kapitalistik yang dilakukan pembebanan bangunan dan ekstraksi air bawah tanah.

Oleh karena itu, pembangunan kapitalistik yang misal diselesaikan juga dengan pembangunan Giant Sea Wall maka tak akan menjawab persoalan.

"Penyelesaian persoalan ini harus dilakukan pendekatan yang dimulai dari merunut datanya dulu karena persoalan di Jakarta Cirebon, Semarang dan daerah lainnya itu berbeda. 

"Bahkan, pesisir Semarang Timur sama Mangkang saja beda.  Mangkang bisa tumbuh mangrove, sebaliknya Semarang Timur ke Demak mangrove susah tumbuh sehingga harus diteliti kondisi perwilayahan," paparnya.

Baca juga: Perbaikan Jembatan Rusak Viral di Kampung Laut, APBD Cilacap Angkat Tangan, Diusulkan APBN


Koordinator Maleh Dadi Segoro (MDS), Martha Kumala Dewi mengatakan, dampak negatif tanggul  laut akan mengkonsentrasikan pembangunan dan aktivitas ekonomi di Pantura Jawa.

Hal ini kontraproduktif dengan kondisi ekologi Pantura Jawa yang mengalami amblesan tanah.

Pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang semakin padat pasti mendatangkan beban dan membutuhkan air, di mana kebutuhan akan air untuk rumah tangga dan industri di Pantura Jawa banyak dipenuhi melalui ekstraksi air-tanah-dalam.

"Jadi, konsentrasi ekonomi di Pantura Jawa yang datang bersama dengan tanggul laut akan semakin memperparah amblesan tanah melalui pembebanan fisik dan ekstraksi air-tanah-dalam yang akan semakin bertambah," bebernya..

Dampak lainnya, lanjut dia, tanggul laut seperti yang sedang dikerjakan pada proyek Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD), menguntungkan wilayah yang kuat seperti kawasan industri yang diutamakan pengembangannya.

Sebaliknya merugikan yang lemah seperti perkampungan nelayan karena semakin terpapar pada perubahan arus air laut yang menyebabkan abrasi pantai.

Tanggul laut menimbulkan ketimpangan geografis antara wilayah barat dan timur, antara wilayah daratan dan pesisir Pantura.

Tanggul laut akan mengurangi dampak banjir di wilayah daratan, tapi merusak ekosistem di wilayah pesisir. 

"Tanggul laut mempersempit dan menutup ruang tangkap nelayan, mematikan mangrove dan ekosistem pesisir. Dan, memperparah banjir karena air dari darat terkepung di belakang tanggul, seperti kasus yang terjadi di Kampung Tambak Lorok, Semarang," ucapnya.
Pihaknya mendorong pemerintah melalui analisis dan pendekatan segi-banyak terhadap kompleksitas permasalahan terkait-air (ekstraksi air tanah, amblesan tanah, rob, abrasi pantai, dan ekosistem pesisir) di Pantura Jawa.

Baca juga: 1164 Warga Kebumen Masuk Kategori Sangat Miskin, Penghasilan Sebulan Kurang Rp 400 Ribu

Ini artinya mendorong pemerintah keluar dari pendekatan segi-satu yang mewujud dalam solusi tanggul laut yang cenderung hanya mau mengatur agar air laut tidak membanjiri daratan.

"Pendekatan lain, misalnya, adalah dari sisi manajemen air tanah agar ekstraksi air-tanah-dalam semakin dikurangi, agar laju amblesan semakin berkurang," terangnya.

Menurut Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, proyek tanggul laut raksasa sebagai proyek maladaptif.

Hal ini merujuk ke laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebuah dokumen yang disusun oleh organisasi internasional yang fokus pada perubahan iklim .

Dalam laporan tersebut, Giant Sea Wall  disebut sebagai Jakarta Great Garuda Projects yang menjadi contoh proyek maladaptif.

"Bahasa sederhananya banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Jadi, kurang bijaksana ya, sudah tahu itu solusi maladaptasi tapi malah dipaksakan dengan biaya besar lagi," tuturnya.

Ia mengungkapkan, senang isu tanggul laut raksasa bisa naik ke publik sehingga publik dapat menyanggah dan memberikan argumen.

Baca juga: Kota Semarang Punya 143 Taman, Ini yang Terbaru Diresmikan di Genuksari

Namun, isu ini hanya berkutat pada isu gimmick yang tak bisa menyelesaikan persoalan sesungguhnya seperti kondisi pesisir yang tenggelam,  tata guna lahan yang buruk, dan  masalah konservasi. "Kita malah sibuk dengan gimmick-gimmick," katanya.

Dalam menyelesaikan persoalan pesisir pantura, kata dia, pemerintah sama sekali tak membicarakan penurunan muka tanah yang menjadi persoalan mendasar.

Pemerintah malah  membicarakan caranya bikin tanggul, menaruh pompa, skema pembiayaan, dan jalan tol sebagai tanggul. 

"Jadi bikin tanggul tanpa menyelesaikan masalah penurunan tanah ibarat orang kena kanker paru-paru jalani kemoterapi tapi ga berhenti merokok," jelasnya.


Koordinator nasional Ekonomi Maritim Indonesia  (Ekomarin) Martin Hadiwinata mengatakan, pembangunan tanggul laut raksasa seperti dijadikan sebagai solusi tunggal.

Seharusnya pemerintah mengurai persoalan mendasar yang ada di Pantura seperti di teluk jakarta, Semarang hingga ke timur.

"Harusnya urai masalah dulu jangan langsung ada solusi bangun tanggul laut, cara itu semacam cara kolonial, termasuk karena ada Belanda di pembangunan ini," tandasnya. (Iwn)

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved