Berita Banjarnegara

'Tol' Jembatan Gantung Sungai Serayu, Ingin Menyeberang Bayar Rp 2.000

Meski sudah berusia setengah abad, bangunan itu nyatanya masih terlihat kokoh.Suara 'gemblodak' menjadi khas jembatan itu saat dilintasi kendaraan.

tribunbanyumas/aqy
pengendara sepeda motor melintas di jembatan penyeberangan Sungai Serayu Banjarnegara yang menghubungkan Kecamatan Rakit dan Purwanegara. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, BANJARNEGARA- Jembatan gantung masih menjadi primadona bagi sebagian masyarakat di sekitar sungai Serayu Banjarnegara untuk penyeberangan.

Meski sudah banyak dibangun jembatan permanen yang lebih memadai, sejumlah jembatan gantung masih dipertahankan.

Rata-rata bangunan jembatan gantung sudah berumur.

Di antaranya jembatan gantung yang menghubungkan Desa Gumiwang, Purwanegara dengan Desa Luwung, Rakit, Banjarnegara.

Setiap melintas di jembatan gantung, pengguna harus membayar jasa retribusi. Anggaran nantinya digunakan untuk kas desa lalu selanjutnya untuk biaya perawatan jembatan.
Setiap melintas di jembatan gantung, pengguna harus membayar jasa retribusi. Anggaran nantinya digunakan untuk kas desa lalu selanjutnya untuk biaya perawatan jembatan. (tribunbanyumas/aqy)

Baca juga: Insiden Geothermal PLTP Dieng Banjarnegara, Diduga Korban Keracunan Gas Hidrogen Sulfida

Meski sudah berusia setengah abad, bangunan itu nyatanya masih terlihat kokoh.

Suara 'gemblodak' menjadi khas jembatan itu saat dilintasi kendaraan.

Maklum, badan jembatan terbuat dari susunan kayu sehingga berbunyi ketika terlindas roda kendaraan.

Jembatan ini hanya bisa dilintasi kendaraan roda dua secara bergantian.

Baca juga: Sumur Bor di PLTP Dieng Keluarkan Gas Beracun, Kapolres: 1 Tewas 8 Dirawat di RS

Pengendara lain harus menunggu ketika sudah ada yang melintas di jembatan.

Sebelum pintu masuk jembatan, ada pos yang dijaga seorang pria tua, Sudir namanya, warga Desa Luwung.

Setiap hari, dari pagi hingga sore, ia dan temannya secara bergantian berjaga.

Setiap pengendara yang keluar masuk jembatan harus berhenti di pos. Mereka harus membayar retribusi ke penjaga jika ingin menggunakan fasilitas itu.

Baca juga: BREAKING NEWS: Sumur Bor Meledak,1 Pekerja Tewas Keracunan Gas di PLTP Dieng

Setiap pengendara roda dua yang melintasi jembatan itu dipungut Rp 2.000.

Untuk pejalan kaki, cukup membayar Rp 1.000.

"Ini untuk pemasukan desa.

Untuk pemeliharaan jembatan," katanya, Jumat (11/3/2022).

Baca juga: Insiden Wellpad Geodipa Tewaskan Satu Orang, Wisata Dieng Aman

Ini bukan pungutan liar tentunya, melainkan pungutan resmi yang ditetapkan melalui Peraturan Desa Luwung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pungutan Desa.

Uang retribusi dari pengendara, kata Sudir, masuk ke kas desa.

Sebagian dana yang terkumpul akan dialokasikan pemeliharaan jembatan.

Sebagian lain untuk menggaji petugas penarik retribusi seperti Sudir.

Dalam sehari, kata Sudir, ada 50 sampai 100 pengendara yang melintasi jembatan gantung.

Jembatan gantung ini nyatanya menjadi akses penting warga antar desa.

Baca juga: Ajudan Jenderal Soedirman Tutup Usia, Dimakamkan Secara Sederhana di Banjarnegara

Warga Desa Luwung dan sekitarnya yang ingin ke Gumiwang atau sebaliknya lebih dekat melalui jembatan gantung, ketimbang melalui jembatan permanen yang memutar lebih jauh.

Tak ayal, meski harus membayar, banyak pengendara yang memilih menggunakan fasilitas jembatan gantung ini untuk menghemat perjalanan.

"Kalau memutar lewat Tapen jauh," katanya.

Meski bangunan beton dan besi masih kokoh, tidak untuk lantai jembatan yang terbuat dari kayu.

Pihaknya harus mengganti kayu jembatan sekitar setiap tiga bulan sekali karena rusak.

Kayu itu, menurut dia, mudah lapuk karena tiap hari terkena panas dan hujan.

Karenanya wajar, butuh anggaran untuk pemeliharaan jembatan yang diambil dari retribusi penyeberang.

Baca juga: Ganjar: Warga Siap Hadapi Erupsi Merapi dengan Metode Desa Kembar

Jasa penyeberangan sudah ada sejak sebelum dibangun jembatan gantung.

Sudir meneruskan profesi itu turun temurun, dari orang tua dan kakeknya dulu.

Sebelum jembatan gantung dibangun, sekitar 1970, kakeknya membuka usaha jasa penyeberangan menggunakan perahu lesung.

Dengan perahu tradisional itu, warga bisa menyeberang dan mengakses desa luar untuk berbagai kepentingan.

Dalam perkembangannya, warga membangun jembatan gantung untuk mempermudah akses ke luar desa.

Orang tua Sudir merupakan penjaga yang bertugas menarik retribusi dari pengguna fasilitas jembatan gantung.

"Kalau saya mulai tahun 1989 mulai bertugas di sini.

Dulu kakek saya menyeberangkan pakai perahu, sebelum ada jembatan," katanya.(*)

Sumber: Tribun Banyumas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved