Konflik Rusia Ukraina

Konflik Rusia-Ukraina, Romulo: Tak Ada Potensi Perang Dunia 3, Ibarat Mantan Pacar Diajak Balikan

Sejumlah warga dunia ketakutan apabila invasi Rusia ke Ukraina bisa memicu Perang Dunia 3.Romulo menyatakan invasi tersebut tidak memiliki potensi itu

dok pribadi
Dosen politik internasional dan diplomasi UKSW, Romulo 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SALATIGA- Dosen Politik Internasional dan Diplomasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Triesanto Romulo Simanjuntak MA pesimis invasi Rusia ke Ukraina akan berlangsung lama.

Pemicunya ialah Vladimir Putin, Presiden Rusia menanda tangani Dekrit yang menyatakan kemerdekaan wilayah separatis Ukraina Timur, Donetsk dan Luhansk.

Putin memerintahkan invasi ke Ukraina dalam skala besar dari jalur darat, laut, dan udara.

Sejumlah warga dunia ketakutan apabila invasi Rusia ke Ukraina bisa memicu Perang Dunia 3.

Romulo menyatakan invasi tersebut tidak memiliki potensi memicu perang dunia ketiga.

Ia perkirakan dalam sebulan maupun dua bulan ke depan akan berlangsung kesepakatan baru dan memungkinkan terjadinya The Minsk Agreement 3 yang ia perkirakan akan dilaksanakan pada Maret atau April 2022.

The Minsk Agreement atau Perjanjian Minsk adalah serangkaian perjanjian internasional sebagai upaya untuk mengakhiri perang di wilayah Donbas Ukraina.

The Minsk Agreement 2 sendiri telah ditanda tangani pada 12 Februari 2022.

Baca juga: Konflik Rusia-Ukraina, Guru Besar Unsoed: Peran Aktif Indonesia Dibutuhkan

Pernyataan Romulo berdasarkan pengalaman masa lalu di mana permasalahan ketahanan keamanan melalui diplomasi terbuka.

Ukraina dan Rusia tergabung dalam Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) untuk bekerja sama dalam bidang militer dan keamanan yang tertarik dengan kecanggihan militer.

"Boris Johnson selaku Perdana Menteri Inggris memberikan sanksi ekonomi pada para taipan atau pengusaha kelas atas yang berbisnis di Inggris.

Hal ini tentu akan mempengaruhi sikap Putin," ujarnya, Jumat (25/2/2022).

Romulo menjelaskan, berdasarkan informasi yang ia terima, sanksi yang diberikan Inggris ialah pembekuan aktivitas ekonomi milik perusahaan Rusia yang memiliki hubungan dengan wilayah Inggris.

Selain Inggris, sejumlah negara sudah memboikot banyak perusahaan Rusia.

Pemboikotan tersebut mengganggu para miliarder yang merupakan bagian dari oligarki Rusia.

Secara ekonomi, negara yang paling terdampak tentu saja Ukraina.

Pasalnya, orang-orang antre di mesin penarikan uang (ATM), antre di swalayan untuk persediaan logistik, hingga kepadatan jalanan ketika sebagian masyarakat mengungsi ke luar wilayah.

Namun, kelompok kelas atas Rusia yang memiliki hubungan ekonomi dengan negara lain juga terdampak.

"Imbas ekonomi secara global pada sektor investasi ialah saham mengalami penurunan dan emas naik.

Setelah Putin mengumumkan invasi, grafik IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan, red) yang awalnya sempat hijau, menjadi merah,"  jelasnya.

Dampak invasi terjadi simultan karena investor memilih mengamankan aset mereka dan tentu mempengaruhi perekonomian secara global.

Namun, Romulo menilai, bila negara lain tidak memberikan sanksi tegas pada Rusia, China akan menginvasi Taiwan karena memiliki latar belakang budaya, masyarakat, sejarah, hingga konflik sosial-politik sejenis.

Bila hal ini terjadi, bakal pemicu perang dunia ketiga.

Di Rusia, banyak masyarakat dan sejumlah kelompok besar Rusia berdemonstrasi hingga 800 pemuda ditahan.

Putin telah mengeluarkan ultimatum pada siapapun yang menolak atau tidak setuju dengan yang dilakukan, siap dengan konsekuensi.

"Di Ukraina sendiri, Presiden Volodymyr Zelenskyy menyerukan bela negara dan sikapnya tersebut mematik rasa nasionalisme warganya.

Meskipun, sebagian warga memilih mengungsi ke Polandia, sebagian lainnya bertahan," tambahnya.

Romulo menjelaskan, konflik antara Rusia dan Ukraina tidak bisa dilihat hanya hitam-putih atau jahat-baik.

Ukraina merupakan negara muda yang baru memperoleh kemerdekaan pada 1991.

Sayangnya, sebagai negara muda, Ukraina belum bisa memberikan kehidupan layak bagi warganya.

Pada 2013, Presiden Ukraina yang digulingkan Viktor Yanukovych meninggalkan Ukraina ke Moskow dengan alasan kesehatan.

Saat melarikan diri, Viktor meninggalkan tempat tinggal yang sangat mewah bila dibandingkan sebagian masyarakat Kyiv saat itu.

Menurut Romulo, oligarki politik dan korupsi di Ukraina sangat luar biasa yang kemudian oleh masyarakat Ukraina, rumah Viktor dijadikan sebagai museum korupsi.

"Pada 2019 Presiden Volodymyr Zelenskyy yang memiliki latar belakang komedian, aktor, penulis naskah terpilih sebagai presiden karena masyarakat Ukraina sudah tidak percaya lagi dengan politisi," ungkapnya.

"Secara sederhana, relasi Rusia dan Ukraina seperti saudara tua yang tidak pernah percaya adiknya hendak merantau, yang meminta adiknya tidak boleh jauh-jauh dan tetap dalam pandangan," tambahnya.

Dengan situasi politik dan keamanan saat ini, sangat mudah bagi masyarakat Ukraina menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pasalnya, pada beberapa kesempatan, Volodymyr menyampaikan pidato kepresidenan hanya menggunakan kaos.

Hal tersebut membuktikan bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja.

Relasi Ukraina dan Rusia bisa juga diibaratkan mantan pacar yang diajak balikan menolak namun ketika sudah mendapatkan pasangan baru justru cemburu.

Ukraina merasa ditinggalkan oleh North Atlantic Threaty Organization (NATO) dan Amerika Serikat, NATO sendiri merupakan politik luar negeri Amerika Serikat di Eropa.

Amerika Serikat sendiri tengah menghadapi permasalahan inflasi 7 persen yang mengisyaratkan pemasukan lebih kecil dari pengeluaran negara.

"Kalau Joe Biden ngeyel membantu Ukraina, akan membuat inflasi Amerika Serika di angka 10-11 persen, karena anggaran negara fokus ke tentara.

Sementara, Amerika Serikat sendiri tengah fokus memperbaiki ekonomi, mengurus virus corona, dan melakukan pembangunan infrastruktur," tambah Romulo.

Romulo kembali menegaskan, tekanan internal Rusia untuk mengakhiri invasi dari para pelaku usaha sangat kuat karena oligarki politik Rusia kuat.

Tentu saja konsekuensi sanksi ekonomi sangat mempengaruhi para pelaku usaha besar.

Sementara, Ukraina selama beberapa hari mencoba membangun citra dari sudut kemanusiaan karena korban invasi Rusia merupakan orang tua, wanita, dan anak-anak.

Ukraina mencoba membangun simpati internasional agar memojokkan Rusia untuk tidak melanjutkan invasi.

"Pernyataan Putin yang mengatakan ingin menyelamatkan orang Rusia di Ukraina bisa berbalik karena rudal balistik tidak mengenal yang mana orang Rusia dan yang mana orang Ukraina," ungkap Romulo.

Adanya pernyataan Indonesia yang dinilai mampu akhiri invasi Rusia ke Ukraina diragukan oeh Romulo.

Pasalnya, Indonesia merupakan Dewan Keamanan Tidak Tetap Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sedangkan Rusia merupakan Dewan Keamanan Tetap PBB.

Meskipun tahun ini Indonesia menjadi Ketua Presidensi G20, namun memiliki peran minor.

G20 menjadikan aspek tata kelola perekonomian ke depan melalui restrukturisasi ekonomi.

Secara politik dan ekonomi, Indonesia lemah dan tidak ada kaitannya dengan invasi Rusia ke Ukraina.(*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved