Deg-degannya Warga di Sekitar Kerajaan Agung Sejagat Pogung Purworejo, Ungkap Sejumlah Kegiatan Aneh
Para tokoh bertemu di Masjid Pandansari, mencari solusi atas ramai keberadaan keraton agung sejahat di lingkungan mereka
Penulis: Permata Putra Sejati | Editor: muslimah
TRIBUNBANYUMAS.COM, PURWOREJO - Kehebohan yang melanda Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, tentang kehadiran Kerajaan Keraton Agung Sejagat membuat segenap perangkat desa mengambil sikap.
Ketua RT 3 RW 1, Dedi Mulyadi mengatakan jika seluruh warga, tokoh dan perangkat desa telah mengambil sikap menolak segala kegiatan yang mengganggu warga.
Keputusan tersebut diambil dalam pertemuan tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Para tokoh bertemu di Masjid Pandansari, mencari solusi atas ramai keberadaan keraton agung sejahat di lingkungan mereka.
"Awalnya adalah kedatangan batu cukup mengherankan warga.
Lalu melakukan kegiatan tidak lazim dan sesaji yang begitu banyak," ujar Dedi kepada Tribunjateng.com, Senin (13/1/2020).
Dedi mengatakan jika puncak dari itu semua adalah ketika momen peresmian kerajaan.
"Dari situ kami mulai menggeliat dan resah. Intinya resah, kegiatan yang amat sangat tidak paham," imbuhnya.
Dedi mengatakan jika dia sudah beberapa kali datang dan memperingatkan, namun pesan dan peringatan tersebut tidak berpengaruh apapun.
"Jujur saja kami takut, lalu apa yang sudah kami omongkan tidak mempan," katanya.
Desa Pogung Jurutengah sendiri kurang lebih memiliki 2.000 warga.
Sementara itu, Kepala Desa Pogung, Slamet Purwadi berpesan supaya menyikapi hal tersebut dengan kepala dingin.
Namun pihaknya setuju bahwa kasus ini menjadikan warga tidak kondusif, dan merugikan warga desa sendiri.
Untuk selanjutnya kebijakannya adalah menyerahkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Purworejo.
"Pemda tidak akan ambil tindakan selama masyarakat masih tenang saja dan adem ayem. Oleh karena itu kita mengambil sikap menolak," pungkasnya.

Geger Kemunculan Kerajaan Keraton Agung Sejagad di Purworejo, Tetangga Ungkap Berbagai Keanehannya
Masyarakat Purworejo tengah dihebohkan dengan keberadaan Kerajaan Keraton Agung Sejagat.
Keraton itu berada di RT 3 RW 1 Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Keraton Agung Sejagad dipimpin oleh seorang yang dipanggil dengan sebutan Sinuhun.
Nama asli sinuhun sendiri adalah Totok Santoso Hadiningrat yang jika mendengarkan penuturan warga merupakan warga asal kota Yogyakarta.
Istrinya yang juga merupakan permaisuri dan dikenal sebagai kanjeng ratu memiliki nama asli Dyah Gitarja.
Keberadaan Kerajaan Keraton Agung sejagat dianggap sebagai cara menunaikan janji 500 tahun dari runtuhnya Kerajaan Majapahit tahun 1518.
Kemunculannya Keraton Agung Sejagat ini adalah untuk menyambut kehadiran Sri Maharatu (Maharaja) Jawa kembali ke Jawa.
Para pengikut KAS disebut dengan istilah 'punggawa' kerajaan.
Akhir-akhir ini aktifitas KAS membuat para warga sekitar resah.
Pada mulanya warga sama sekali tidak tahu menahu dengan berbagai kegiatan yang dilakukan.
Warga hanya tahu bahwa di dalam area rumah yang sekarang disebut sebagai keraton sering melakukan aktifitas budaya.
"Akan ada semacam museum, ada berbagai macam kesenian lainnya, sehingga masyarakat sekitar makmur karena ada wisatawan akan datang," ujar Sumarni (53) tetangga yang rumahnya dekat dengan area Keraton.
Dulunya hanya dikenal sebagai perkumpulan-perkumpulan biasa yang menamai dirinya sebagai Development Economic Commite (DEC).
"Itu adalah komunitas yang akan mencairkan dana pemerintah jaman dulu," katanya.
Sumarni mengatakan jika kegiatan mulai ramai dan mendatangkan berbagai orang dari luar adalah sekitar 14 Agustus 2019.
Orang-orang datang berdatangan menggunakan kain-kain tradisional seperti kerajaan.
Orang-orang itu datang bukan dari Purworejo atau orang asli disitu, melainkan mereka datang dari luar seperti Bantul, Imogiri, dan lainnya.
Aktifitas mereka dimulai pada pukul 17.00 WIB sore, dan acaranya adalah sekitar pukul 22.00 WIB.
Acara yang mereka selenggarakan menggunakan tatacara upacara ala manten jawa.
Ada tarian gambyong, cucuk lampah hingga prosesi pecah telor.
Warga yang melihat prosesi tersebut menjadi terheran-heran ada kegiatan apa seperti itu.
"Kita sebagai warga jelas heran itu ada apa kok malem-malem seperti itu," katanya.
Rasa penasaran dan keanehan yang dialami oleh warga semakin bertambah mana kala pada Minggu kedua Oktober, tiba-tiba datang sebuah batu besar pada malam hari.
"Itu batunya datang jam setengah tiga malam, otomatis kita sebagai tetangga dekat jelas dengar suaranya," ungkapnya.
Setelah datang batu besar tersebut, Sumarni melihat ada kursi-kursi sudah tertata rapi.
Batu besar itu dianggap sebagai bentuk bangunan Prasasti tanda telah sah menjadi kerajaan berdiri. (Tribunjateng/jti)