Ini Penjelasan KPU Soal Harun Masiku, Perkara yang Menjerat Wahyu Setiawan
KPU menjelaskan duduk soal Harun Masiku. Silang sengkarut PAW Harun Masiku menjerat komisioner KPU Wahyu Setiawan
TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberentasan Korupsi (KPK), pada Rabu (8/1/2020) kemarin.
Ia ditangkap terkait perkara suap, untuk memuluskan langkah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Harun Masiku, menduduki kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) melalui proses Pergantian Antar Waktu (PAW).
PAW dilakukan lantaran calon legislatif (celeg) terpilih, Nazarudin Kiemas, meninggal dunia.
Namun, upaya Wahyu memuluskan ambisi Harus Masiku terganjal. Dalam rapat pleno, KPU menetapkan caleg lainnya, Riezky Aprilia, sebagai pengganti Nazarudin Kiemas sebagai anggota DPR RI terpilih.
• Kini Jadi Tersangka Kasus Suap, Rekan Kerja di KPU Banjarnegara Ungkap Cerita tentang Wahyu Setiawan
Komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, memaparkan alasan dan landasan hukum terkait penetapan Riezky Aprilia, sebagai anggota DPR RI terpilih menggantikan Nazarudin Kiemas.
Menurut Pramono, ada dua hal yang menjadi poin persoalan dalam kondisi ini. "Ada dua, karena yang disoal kan sebenarnya Pak Nazarudin Kiemas meninggal. Meninggalnya kan sebelum pemungutan suara. Makanya itu terkait penetapan calon terpilih (DPR RI) kan," ujar Pramono kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).
Adapun penetapan calon anggota DPR RI terpilih, menurut dia, menggunakan dasar hukum Pasal 426 UU 7/2017 tentang Pemilu. Dalam aturan ini, dijelaskan tentang penetapan penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
• Bursa Transfer Liga 2, PSCS Cilacap Mulai Berburu Rekrutan Baru, Eks Pemain Klub Liga 1 Merapat?
Bunyinya, "dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri; tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR, DPD DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota; atau terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap". Kemudian, persoalan kedua terkait pergantian antarwaktu ( PAW).
Menurut Pramono, dalam menetapkan Riezky, KPU menggunakan dasar Pasal 242 ayat (1) UU MD3. Aturan ini berbunyi, "Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) dan Pasal 240 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama".
Sementara itu, lanjut Pramono, PDI Perjuangan meminta posisi Nazarudin Kiemas digantikan oleh Harun Masiku. Dalam upayanya, PDIP menyertakan dua dasar hukum, yakni putusan Mahkamah Agung (MA) atas uji materi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 dan fatwa MA.
• Pilkades Campurejo Temanggung seperti Pesta Pernikahan. Ada Makan-makan dan Hadiah Utama Motor
Akan tetapi, kata Pramono, KPU tetap menolak permintaan PDI-P. "Memang PKPU yang diuji, tapi kan undang-undangnya tidak berubah. Ngapain diubah? Wong kita kan berpegang dengan Undang-undang. Soal MA tidak ada urusannya ya, " tegas Pramono.
"Itulah yang menjadi sikap kita sejak awal. Walau ada putusan MA, ya kita tidak bisa. Ada fatwa MA ya tidak bisa. Kan Undang-undang enggak diubah. Kecuali ada putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal di Undang-undang," tegas Pramono.
Diberitakan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan politisi PDI Perjuangan Harun Masiku sebagai tersangka setelah operasi tangkap tangan yang menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, mengatakan Harun Masiku diduga menjadi pihak yang memberikan uang kepada Wahyu Setiawan agar bisa membantunya menjadi anggota legislatif melalui mekanisme PAW.
• Satu Keluarga Dibantai Secara Keji di Banyumas, Terbongkar 5 Tahun Kemudian, Ini Pengakuan Pelaku
Menurut Lili Pintauli, kasus ini bermula saat DPP PDIP mengajukan Harun menjadi pengganti Nazarudin Kiemas sebagai anggota DPR RI. Nazarudin diketahui meninggal pada Maret 2019. Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.
Sebelum penetapan KPU itu, Lili mengungkapkan pada awal Juli 2019 salah satu pengurus DPP PDI-P memerintahkan seseorang yang disebut DON mengajukan gugatan uji materi ke MA. Uji materi yang diajukan terkait pasal 54 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.
"Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019," ujar Lili saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2019).
Gugatan ini, kata Lili, kemudian dikabulkan MA pada 19 Juli 2019. MA menetapkan partai adalah penentu suara dan pengganti antar waktu. "Penetapan MA ini kemudian menjadi dasar PDI-P mengirimkan surat kepada KPU untuk menetapkab Harun Masiku sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas," lanjut Lili.
• Untuk Kali Pertama Purwokerto Jadi Tuan Rumah Proliga, Terungkap Alasan GOR Satria Terpilih
Sementara itu, saat ditelusuri dari lembaran putusan MA atas uji materi terhadap PKPU Nomor 3 Tahun 2019, PDIP memberi kuasa kepada Donny Tri Istiqomah dan rekannya selaku advokat PDIP yang berkedudukan di bawah partai tersebut sebagai kuasa hukum.
Dari putusan tersebut juga diketahui pasal yang diuji materi adalah Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a PKPU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum.
Pasal 54 ayat (5) huruf k berbunyi 'Tanda coblos sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, diatur sebagai berikut: "tanda coblos pada 1 (satu) kolom yang memuat nomor urut calon, nama calon atau tanpa nama calon disebabkan calon tersebut meninggal dunia ataubtidak lagi memenuhi syarat sebagaicalon, dinyatakan sah untuk Partai Politik".
Kemudian, pasal 54 huruf l berbunyi "Tanda coblos sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, diatur sebagai berikut: “tanda coblos pada 1 (satu) kolom yang memuat nomor urut Partai Politik, tanda gambar Partai Politik, atau nama Partai Politik, serta tanda coblos pada 1 (satu) kolom yang memuat nomor urut calon, nama calon atau tanpa nama calon disebabkan calon tersebut meninggal dunia atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon, dinyatakan sah untuk Partai Politik.”
• Untuk Kali Pertama Jadi Tuan Rumah Proliga 2020, Ini Lho Istimewanya GOR Satria Purwokerto
Adapun, pasal 55 ayat (3) berbunyi "Dalam hal ketua KPPS menemukan Surat Suara yang dicoblos pada nomor urut dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, tetapi nama calon tersebut telah meninggal dunia atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon dan telah diumumkan oleh KPPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf d, suara pada Surat Suara tersebut dinyatakan sah dan menjadi suara sah Partai Politik".
Lalu, pasal 92 huruf a berbunyi, "dalam hal pada saat proses Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara terdapat calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang: a. meninggal dunia; KPU tidak mengikutsertakan calon tersebut dalam penyusunan peringkatsuara sah terbanyak dan menuangkan ke dalam catatan kejadian khusus. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Tolak Harun Masiku jadi Anggota DPR, Ini Dasar Hukum KPU...