Tidak Bisa Beli Pertalite dengan Jeriken Puluhan Petani Banjarnegara Berdemo di SPBU
Puluhan petani, pedagang dan pengojek dari beberapa kecamatan bagian atas Kabupaten Banjarnegara menggelar aksi damai di pelataran SPBU Karangkobar.
TRIBUNBANYUMAS.COM, BANJARNEGARA - Suasana SPBU Karangkobar Banjarnegara mendadak riuh.
Puluhan petani, pedagang dan pengojek dari beberapa kecamatan bagian atas Kabupaten Banjarnegara menggelar aksi damai di pelataran SPBU Karangkobar.
Mereka sembari membawa kertas atau kardus bertuliskan keluhan dan tuntutan.
Mereka meneriakkan aspirasi dengan nada lantang.
Para demonstran itu akhirnya diterima Manajer SPBU di kantor.
Aspirasi mereka dicatat, dan akan disampaikan ke atasan.
Aksi mereka ini bukan tanpa alasan.
Edi Santoso, petani asal Desa Sumberejo Kecamatan Batur mengaku keberatan dengan kebijakan yang melarang pembelian pertalite menggunakan jeriken.
Sebagai petani kecil, ia mulanya tak tahu perihal kebijakan itu.
Baru hari ini, Edi terkaget karena tak bisa membeli pertalite di penjual eceran di desanya.
Toko yang biasa menyuplai kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) warga dan petani tidak lagi menjual pertalite.
Pengecer, kata dia, kehabisan stok karena dilarang membeli pertalite menggunakan jeriken ke SPBU.
"Ini sangat merugikan petani," katanya.
Karena tak menemukan pertalite di pengecer, Edi yang kebingungan rela pergi ke SPBU Dieng untuk mendapatkan bahan bakar.
Tetapi di sana ia pun harus gigit jari lantaran tak bisa membeli pertalite menggunakan jeriken.
Kelangkaan pertalite di tingkat pengecer ini membuat petani sepertinya menjerit.
Bagaimana tidak, BBM itu sudah menjadi kebutuhan pokok di dataran tinggi Dieng untuk mengolah lahan.
Dalam sehari, Edi mengaku membutuhkan rata-rata 4 liter pertalite untuk merawat lahannya.
BBM itu dibutuhkan guna menggerakkan mesin untuk memupuk tanaman.
Padahal, menurut Edi, rata-rata petani di dataran tinggi Dieng menggunakan mesin berbahan bakar minyak untuk mengolah lahannya.
Ia memperkirakan ribuan liter pertalite setiap harinya dibutuhkan petani di wilayah Kecamatan Batur untuk mengolah lahannya.
"Petani sangat keberatan," katanya.
Karena tak ada pertalite di pengecer, kata Edi, petani terpaksa membeli Pertamax untuk menjalankan mesinnya.
Bagaimana pun, lahan tetap butuh perawatan, meski petani harus merogoh kocek lebih dalam.
Petani jelas dirugikan karena ongkos produksi menjadi membengkak.
Pasalnya, ada selisih harga yang cukup signifikan antara pertalite dan pertamax.
Di pengecer, kata Edi, petani biasa membeli pertalite seharga Rp 8800. Ini lebih murah dibanding pertamax seharga Rp 11.500 di pengecer.
Persediaan pertamax di pengecer pun terbatas.
Mereka masih ragu membeli BBM jenis itu karena harganya mahal dan belum tentu laku.
"Bagi petani selisih Rp 3 ribu itu sangat berharga."
"Kalau dikalikan berapa liter kebutuhan setiap hari, ongkos produksi bisa membengkak," katanya.
Dari SPBU Karangkobar, perwakilan dari demonstran itu pun berlanjut ke DPRD Banjarnegara untuk menyampaikan aspirasinya.
Mereka berharap wakil rakyat mau memerjuangkan aspirasi warga yang dirugikan karena kebijakan ini. (aqy)