Opini Mahasiswa

Manajemen Kinerja di Persimpangan: Dari Obsesi Angka Menuju Penguatan SDM yang Bermakna

Saat ini, pengukuran kinerja dilakukan melalui e-SKP dan sistem e-Kinerja BKN, yang memungkinkan penilaian capaian individu secara digital

Editor: Rustam Aji
dok.pribadi
Rhomadani Sinta Pratiwi, Mahasiswa Magister Administrasi Publik,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 
Ringkasan Berita:
  • Pengukuran kinerja saat ini dilakukan melalui e-SKP dan sistem e-Kinerja BKN, yang memungkinkan penilaian capaian individu secara digital dan terintegrasi lintas instansi.
  • Secara ideal, sistem-sistem ini dirancang agar setiap ASN dan instansinya berkontribusi nyata terhadap pencapaian tujuan organisasi serta hasil pembangunan nasional.
  • Namun realita di lapangan, praktik manajemen kinerja sering kali masih terjebak pada obsesi angka.

TRIBUNBANYUMAS.COM - Dalam birokrasi Indonesia, manajemen kinerja telah menjadi jantung reformasi aparatur.

Ia menjadi instrumen penting untuk mendorong akuntabilitas dan profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN).

Saat ini, pengukuran kinerja dilakukan melalui e-SKP dan sistem e-Kinerja BKN, yang memungkinkan penilaian capaian individu secara digital dan terintegrasi lintas instansi.

Sementara itu, penilaian kinerja instansi pemerintah dilakukan melalui Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang menjadi tolok ukur akuntabilitas kinerja organisasi secara menyeluruh.

Secara ideal, sistem-sistem ini dirancang agar setiap ASN dan instansinya berkontribusi nyata terhadap pencapaian tujuan organisasi serta hasil pembangunan nasional.

Namun realita di lapangan, praktik manajemen kinerja sering kali masih terjebak pada obsesi angka. ASN dituntut mengejar capaian indikator kuantitatif: berapa program yang terlaksana, berapa laporan disusun, berapa persen target tercapai. Kinerja menjadi sekadar deretan tabel dan persentase.

Akibatnya, esensi manajemen kinerja sebagai proses pembelajaran dan pengembangan manusia sering terpinggirkan.

ASN sibuk memenuhi target administratif, bukan memperdalam makna dari pekerjaannya.  

Menurut dua pakar manajemen sumber daya manusia, Herman Aguinis, profesor di George Washington University yang dikenal luas atas penelitiannya tentang performance management dan Burgi-Tian, peneliti yang kerap berkolaborasi dengannya dalam kajian efektivitas sistem manajemen kinerja (2021), manajemen kinerja bukanlah sistem penilaian semata, melainkan proses berkelanjutan untuk menumbuhkan kompetensi, komitmen, dan kolaborasi pegawai agar berkontribusi optimal bagi organisasi.

Baca juga: Manajemen Kinerja di Bawah Bayang-bayang Krisis Integritas

Ketika kinerja hanya dilihat dari angka, nilai kemanusiaan dan inovasi dalam bekerja menjadi kabur.

Fenomena ini melahirkan apa yang disebut performance paradox: secara administratif, kinerja terlihat baik, tetapi belum tentu berdampak signifikan terhadap kualitas pelayanan publik. Tak sedikit lembaga pemerintahan yang memiliki laporan kinerja “sempurna”, sementara masyarakat masih menghadapi pelayanan yang lamban, tidak responsif, atau minim empati.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara kinerja administratif dan kinerja substantif.

Sistem penilaian yang terlalu birokratis membuat pegawai lebih berorientasi pada compliance (kepatuhan) daripada commitment (komitmen).

Disisi lain, budaya kerja yang menekankan formalitas lebih tinggi daripada refleksi membuat ASN sulit berkembang secara alami.

Dalam berbagai konteks pelayanan publik di daerah, fenomena ini tampak nyata.

Banyak instansi telah mengembangkan inovasi digital pelayanan publik, namun mekanisme di lapangan belum sepenuhnya terintegrasi.

Sebagian masyarakat masih menghadapi proses yang panjang karena prosedur manual tetap diberlakukan di awal.

Bagi warga yang belum akrab dengan teknologi, hal ini menjadi tantangan tersendiri.

Situasi tersebut menggambarkan bahwa keberhasilan manajemen kinerja publik tidak cukup diukur dari kehadiran sistem digital atau capaian indikator, tetapi dari sejauh mana sistem tersebut benar-benar menyederhanakan proses dan memperkuat kemudahan pelayanan bagi semua lapisan masyarakat.

Kesenjangan antara capaian sistem dan realitas pelayanan ini menunjukkan bahwa transformasi birokrasi tak bisa hanya berhenti di level teknologi namun harus berjalan beriringan dengan transformasi manusia.

Baca juga: Video Longsor dan Banjir Landa 14 Kecamatan di Banyumas akibat Hujan Deras

Karena itu, paradigma baru manajemen kinerja ASN harus memandang pegawai sebagai human capital yang dikembangkan melalui nilai, kompetensi, dan budaya kerja positif.

Pendekatan ini sejalan dengan nilai dasar ASN “BerAKHLAK” dan penguatan budaya coaching dalam reformasi birokrasi.

Namun, dalam praktiknya, implementasi masih sering bersifat seremonial atau sekadar memenuhi kewajiban administratif tanpa perubahan perilaku yang nyata.

Manajemen kinerja ASN kini berada di persimpangan jalan.

Apakah akan terus menempuh jalur angka dan laporan, atau beralih ke arah pembelajaran dan penguatan manusia yang sesungguhnya?

Perubahan paradigma ini menuntut kepemimpinan transformatif di lingkungan birokrasi.

Pemimpin publik tidak cukup hanya menjadi pengawas capaian, tetapi juga harus menjadi coach dan mentor yang menumbuhkan potensi bawahannya.

Peter G. Northouse, seorang pakar kepemimpinan yang dikenal lewat buku Leadership: Theory and Practice (2021), menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional mampu menciptakan lingkungan kerja yang menginspirasi, memotivasi, dan memberdayakan pegawai agar tumbuh bersama organisasi.

Beberapa instansi pemerintah mulai mencoba pendekatan ini melalui program coaching dan one-on-one meeting antara atasan dan bawahan.

Dialog terbuka mengenai capaian, hambatan, serta pembelajaran yang diperoleh menjadi bagian dari proses kerja yang sehat.

Pendekatan seperti ini menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap organisasi, sesuatu yang sering hilang ketika kinerja hanya diukur lewat angka.

Namun, tantangan besar masih mengadang. Budaya birokrasi yang hierarkis dan berorientasi formalitas membuat inovasi pengelolaan kinerja sulit berakar.

Banyak pimpinan masih memandang penilaian sebagai alat kontrol, bukan alat pengembangan. Sementara sebagian ASN merasa sistem penilaian tidak mencerminkan realitas kerja dan kontribusi mereka.

Di sinilah pentingnya menggeser cara pandang. Manajemen kinerja harus dipahami bukan sebagai alat ukur, tetapi sebagai alat tumbuh.

Pemerintah perlu menekankan aspek learning, feedback, dan capacity building dalam setiap siklus kinerja.

ASN tidak boleh diperlakukan hanya sebagai pelaksana target, tetapi sebagai pembelajar yang terus berkembang untuk melayani publik dengan lebih baik.

Peter Drucker pernah mengingatkan, “What gets measured gets managed, but not everything that can be measured matters.” Dalam birokrasi modern, kalimat ini amat relevan.

Baca juga: Prabowo Bertemu PM Albanese Bahas Penguatan Kemitraan Strategis Indonesia–Australia

Tidak semua yang terukur penting, dan tidak semua yang penting bisa diukur. Kini, saatnya manajemen kinerja ASN bergerak dari paradigma angka menuju paradigma makna.

ASN yang bermakna bukanlah yang sekadar mencapai target administratif, melainkan yang tumbuh dalam integritas, kompetensi, dan dedikasi. Jika manajemen kinerja dijalankan dengan orientasi pengembangan manusia, maka birokrasi Indonesia tidak hanya efisien secara sistem, tetapi juga hidup secara nilai.

Dan di situlah, sesungguhnya, reformasi birokrasi menemukan rohnya. “Manajemen kinerja yang sejati bukan tentang seberapa banyak laporan diselesaikan, tetapi seberapa besar manusia di dalam birokrasi tumbuh untuk melayani.” (*)

Penulis: Rhomadani Sinta Pratiwi, Mahasiswa Magister Administrasi Publik,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

 

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved