Berita Purbalingga
Kisah Cinta Eks Cakrabirawa Penjemput AH Nasution di Purbalingga, Berjuang Melawan Stigma
Saat itu, Sri dikenalkan oleh mantan kekasihnya kepada Sulemi. Mereka pun akhirnya saling mengenal dan saling menyukai
Penulis: Farah Anis Rahmawati | Editor: khoirul muzaki
TRIBUNBANYUMAS.COM, PURBALINGGA — Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S/ PKI adalah sebuah peristiwa kelam yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Peristiwa tersebut erat kaitannya dengan Pasukan Cakrabirawa atau satuan khusus yang dibentuk presiden untuk melindungi Presiden saat itu, yakni Soekarno dan keluarganya.
Namun, nama Cakrabirawa tercoreng usai peristiwa penculikan para jenderal pahlawan revolusi.
Mereka dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut dan harus menjalani hukuman.
Padahal, mulanya pasukan tersebut hanya diperintah untuk menjemput Jenderal AH Nasution. Namun dalam penjemputan tersebut, terdapat tragedi tertembaknya Ade Irma Nasution, putri sang jenderal.
Salah satu anggota Cakrabirawa yang memiliki nasib baik dan berumur panjang meski menjalani siksa pedih selama dipenjara, ialah Sulemi dari Purbalingga.
Ia berhasil bebas dan kembali menghirup udara segar pada tahun 1980. Namun sayangnya, ia kini telah meninggal dunia.
Sulemi mengembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang melawan sakit pada tahun 2023.
Istrinya, Sri Pangestuningsih menceritakan, kini ia menjalani kehidupannya seorang diri. Anak-anaknya sudah menikah dan sebagain besar hidup di perantauan.
Untuk melepas rasa sepi, ia sengaja membuka sebuah warung di depan rumahnya. Selain sebagai kegiatan untuk mengisi waktu, berdagang juga sudah menjadi salah satu hal yang ia sukai sejak usia muda.
Baca juga: Jejak Guru hingga Mantan Wakil Bupati Kendal Dieksekusi di Hutan Jati Semarang saat Tragedi 65
Awal Cinta
Saat dijumpai, ia menceritakan awal mula bertemu dengan Sulemi. Mereka bertemu di tahun 1980 atau dua bulan sejak Sulemi dibebaskan dari penjara.
Saat itu, Sri dikenalkan oleh mantan kekasihnya kepada Sulemi. Mereka pun akhirnya saling mengenal dan saling menyukai satu sama lain.
Kondisi Sri saat itu merupakan seorang janda. Ia bercerai dengan suaminya yang merupakan anggota Kopasus di Magelang, dan membawa dua orang anak dari pernikahan tersebut.
"Saya sudah tahu kalau dia katanya anggota Cakrabirawa, mantan G30S/PKI. Tapi saya biasa saja, enggak takut atau gimana, cuma memang waktu itu sempat diperingatkan kalau dekat sama mantan G30S itu hidupnya bakal susah dan anaknya nanti tidak akan dapat pekerjaan, bahkan sampai lima turunan," jelasnya.
Sri pun akhirnya meminta izin untuk menikah. Meskipun saat itu Sulemi tidak bekerja dan masih banyak stigma negatif tentangnya, ia tetap bertekad untuk menerima.
Namun saat meminta izin untuk menjalani kehidupan berumah tangga, keluarga Sri sempat menolak. Bahkan Sri sempat diasingkan ke rumah adiknya di Surabaya. Pengasingan tersebut rupanya tidak merubah perasaan Sri. Ia tetap berhubungan baik dengan Sulemi meski melalui surat.
"Tapi meski saya diasingkan, kita sering berkomunikasi melalui surat," katanya.
Lambat laun, hubungan mereka pun akhirnya direstui sang ayah. Ayah Sri terkagum karena melihat sosok Sulemi yang rajin, baik dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan dalam kegiatan sosial di sekitar tempat tinggalnya.
"Kata bapak saya, Sulemi ini orangnya rajin, suka bantu-bantu warga disini bersih-bersih. Bapak saya pikirnya oh mungkin dia sosok yang bakal sayang istri, akhirnya hubungan kami direstui," ujarnya.
Sri dan Sulemi akhirnya resmi menikah pada bulan April tahun 1981. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai seorang anak laki-laki di tahun 1982.
Meski dalam kehidupan rumah tangganya sang suami sempat kesusahan untuk mencari pekerjaan, akibat stigma negatif yang terus melekat. Sri menceritakan Sulemi sempat bekerja selama 1,5 tahun di Tanjung Priok.
"Dulu sekitar tahun 1983, bapak sempat kerja di Tanjung Priok kurang lebih ada 1,5 tahunan. Tapi akhirnya pulang lagi kesini, setalah ada peristiwa Tanjung Priok di tahun 1984," tuturnya.
Setelah kembali ke Purbalingga, Sulemi belum kembali mendapatkan pekerjaan. Menurutnya, sang suami masih kesusahan untuk mendapatkan kerja.
Namun karena Sri sudah terbiasa berjualan sejak ia masih kecil, ia pun akhirnya memutuskan untuk berdagang.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka saling membantu. Saat Sri berjualan di pasar, Sulemi membantu pekerjaan di rumah, mulai dari memasak hingga bersih-bersih.
Selain itu, Sri juga menceritakan dalam aktivitas sehari-hari, Sulemi dikenal sebagai orang yang cukup aktif dalam kegiatan sosial dan sering mengurus musala. Sehingga lambat laun stigma negatif tentangnya pun mulai berkurang.
Berkat Gusdur
Namun masalah akibat melekatnya nama Sulemi dengan peristiwa G30S/PKI sempat kembali datang saat putranya hendak mendaftar sebagai anggota polisi.
"Saat itu, kami mendapatkan kiriman surat kaleng. Katanya anak kami tidak bisa jadi polisi karena anak bekas G30S. Terus bapak dipanggil untuk klarifikasi," katanya.
Sri melanjutkan, setelah klarifikasi Sulemi sempat memberikan pembelaan dengan mengatakan tidak ada surat keputusan yang menyatakan bahwa anak G30S tidak boleh menjadi polisi.
"Tapi karena perjuangan Gus Dur, saat itu, akhirnya anak saya boleh mendaftar dan akhirnya sekarang sudah jadi polisi. Sekarang anak saya mengabdi di Banjarnegara," ucapnya.
Seiring waktu berjalan, Sulemi pun semakin disegani oleh masyarakat sekitar tempat mereka tinggal. Sulemi bahkan sempat diangkat sebagai ketua RT dalam waktu yang cukup lama. Bahkan saat Sulemi mengembuskan nafas terakhirnya, ia masih aktif menjabat sebagai ketua RW.
"Sosok bapak bagi saya itu seperti tokoh, saya merasa bahagia mengenalnya. Alhamdulilah saat meninggal beliau juga dalam keadaan tersenyum, semoga beliau meninggal dalam keadaan khusnul khotimah," pungkasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.