Video Berita

Nurhayatni, Kemas Sampah Jadi Tabungan Emas, Awalnya Diremehkan

Penulis: Permata Putra Sejati
Editor: Rustam Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNBANYUMAS.COM, PURWOKERTO -  Nurhayatni (58), perintis Bank Sampah Inyong.

Siapa sangka, usahanya itu kini telah membantu lingkungannya.

Tidak hanya membbuat lingkungannya bersih dari sampah, tapi juga warga bisa mendapatkan keuntungan.

"Anak-anak kecil di RT sini sudah biasa memilah sampah dan menyetorkannya kesini. Kemudian menukarnya dengan uang atau makanan kecil di warung," katanya. 

Usai berlarian menerima uang jualan sampah yang ditukar jajan, Nurhayatni tidak lupa mencatat dalam buku harian transaksi. 

Adanya Bank Sampah Inyong dilatarbelakangi keresahan saat kegiatan RT butuh sering melakukan iuran yang uang kas kosong. Nurhayatni akhirnya putar otak mencari pendapatan. Pada 2014, ia dipercaya menjadi Ketua RT. Kala itu, kas di lingkungannya kering, dan iuran warga seringkali menjadi beban. 

Ia lalu berpikir ulang mungkinkah iuran diganti dengan sampah? Sebuah gagasan sederhana yang kemudian mengakar kuat hingga sekarang.

Sembari membereskan aneka plastik yang masih tercecer di lantai, ia kembali pada pikirannya saat mulai merintis.

"Saya lihat tukang rongsok bisa hidup dari sampah. Masa kita tidak bisa?," ucapnya kepada Tribunbanyumas.com sambil mengingat-ingat dirinya dulu yang sempat ragu-ragu. 

Dari situlah lahir Bank Sampah Inyong, yang mengusung semangat 'Sodaqoh Sampah' dengan harapan warga dapat memilah sampah rumah tangga. 

Baca juga: Cuaca Ekstrem Jadi Penyebab Pendaki Asal Jakarta Alami Hipotermia di Pos Lima Gunung Slamet

Baca juga: Bambang Tri Hirup Udara Bebas! Terpidana Kasus Ujaran Kebencian soal Ijazah Jokowi Ini Tetap Diawasi

Nurhayatni mulailah datang menjemput, menimbang, dan menjual sampah warga ke pengepul. Uang hasil penjualan masuk ke kas RT dan dikelola layaknya koperasi mini. 

Hasilnya mengejutkan, tahun pertama, 30 kepala keluarga (KK) berhasil mengumpulkan Rp9 juta dari sampah.

Uang itu digunakan membeli sembako bersama, bahkan mengadakan piknik warga. 

Tantangan tersulit ialah mengubah pandangan warga di sekitar rumahnya soal sampah bisa menghasilkan uang.

Di awal merintis, banyak yang meremehkannya.

Nurhayatni bercerita pertanyaan yang muncul kepadanya kala itu seperti "Sampah buat apa sih?"

Nurhayatni tak menyerah. Ia kumpulkan sendiri sampah-sampah dengan datang ke rumah-rumah. Ketika tumpukan sampah itu berubah menjadi rupiah, satu per satu tetangga yang ragu berubah pikiran dan ikut dengan gagasannya. 

Keseriusannya ditunjukan melalui ia yang sengaja belajar mengetahui berapa nilai ekonomis dari sampah ke pengepul besar secara langsung. 

Pada 2016, ia berkesempatan mengikuti pelatihan dari Dinas Lingkungan Hidup dan studi banding ke Yogyakarta. 

"Harganya memang terus berubah, kardus contohnya saat covid itu Rp4.000 sekilonya sekarang jadi hanya Rp2.000 per kilo, dari warga saya beli Rp1.000.
Kalau minyak jelantah satu liter Rp3.000 terus saya jual lagi Rp5.000 ke pengepul," ucapnya.

Bank Sampah Inyong telah resmi didaftarkan ke desa sebagai aktivitas kolektif bersama. Ativitasnya meluas, tak hanya di satu RT tapi merambah ke desa tetangga. 

Dalam sebulan, penghasilan dari sampah mencapai Rp1 juta hingga Rp1,1 juta atau sekitar Rp12 juta per tahun. Semua itu hasil dari memilah dan menjual limbah rumah tangga.

Tak puas hanya menjual sampah, Nurhayatni juga berinovasi mengolahnya. 
Dari minyak jelantah, ia membuat sabun, lilin, hingga pakan maggot. 

Dari kantong kresek, ia sulap menjadi tas dan topi yang dijual Rp50 ribu per buah. 
Ia juga memproduksi ecobrick dan ecoenzym untuk keperluan pertanian. 

Seluruh proses dilakukan di rumah, dibantu keponakan dan anaknya yang menangani teknologi informasi dan pelaporan.

Bank Sampah Inyong kini tak hanya melayani warga satu RT. Sejak 2021 meski tak lagi menjadi Ketua RT, kiprahnya terus berlanjut, menjangkau wilayah kelurahan lain seperti Karanggintung dan Sumampir. 

Ia mengatakan hingga saat ini ada sekitar 75 warga rutin menyetorkan sampah ke bank sampah miliknya. Sekolah seperti TK Santa Maria Purwokerto bahkan menjadikan tempat ini sebagai lokasi outing class. 

Anak-anak datang, menukar buku bekas dengan jajanan, dan mengembalikan bungkusnya untuk diproses ulang. 
Para ibu rumah tangganya juga menukar sampah dengan beras atau minyak. 

"Saya tahu betul, bagi sebagian warga, sekarung beras bisa datang dari setumpuk botol bekas," ujarnya. 

Sampah Menjadi Tabungan Emas

Inovasi lain lahir pada 2019. Nurhayatni bersama Pegadaian mengubah nilai sampah menjadi tabungan emas. 

Bank Sampah Inyong bergabung dengan program The Gade Clean & Gold dari PT Pegadaian. Sampah yang ditabung dihitung nilainya, lalu dikonversi ke tabungan emas.

Nurhayatni menyebut langkahnya ini sebagai "Mengemaskan Sampah". Nilai sampah yang disetor warga dikonversi menjadi saldo di buku tabungan emas masing-masing.

"Emas ini jadi investasi jangka panjang, dan nilainya bisa naik terus, dikumpulkan dulu sampahnya nanti ditukar dengan saldo tabungan emas," jelasnya. 

Ia bahkan mengungkapkan keinginanya menjadi agen Pegadaian agar jangkauan program ini menjadi semakin luas.

Yang membedakan Nurhayatni dari banyak penggerak lingkungan lainnya adalah konsistensinya. 

Selama lebih dari satu dekade, ia tak hanya memberi instruksi, tapi terjun langsung memilah, dan menimbang sampah-sampah warga. 

Bahkan ia kerap kali menyetir tossa, hingga mengangkut sampah dari kampus yang cukup jauh dibantu juga oleh suaminya. Semuanya dilakukan dengan satu semangat agar lingkungan bersih dan warganya mandiri.

Kini, ia dikenal luas sebagai penggerak lingkungan di Banyumas. Ia kerap diundang mewakili daerah dalam berbagai kegiatan, menjadi rujukan studi banding, bahkan meraih juara dua tingkat Jawa Tengah dalam rangka Hari Habitat.

"Saya ikut alur saja. Yang penting, lingkungan bersih dan ekonomi masyarakat terbantu," katanya.

Meski belum semua warga bergabung, Nurhayatni tak mempermasalahkan. 

"Kalau mereka sudah memilah sampah dan menjual sendiri, itu sudah langkah maju," ucapnya. 

Ia yang dulunya bekerja di pabrik bolpoin di Jakarta dan berdagang di Tanah Abang memutuskan pulang kampung karena ingin memiliki anak setelah enam tahun menanti. Kini, ia tak hanya memiliki keluarga, tapi juga komunitas yang hidup dan tumbuh bersama berkat sampah.

Nurhayatni bukan sekadar penggerak lingkungan, tapi memberikan makna hidup di tengah tumpukan yang sering dipandang remeh, Mengemaskan Sampah dan mengemaskan lingkungan. 

Kepala Cabang Pegadaian Purwokerto, Budi Purnomo, mengakui 'Bank Sampah Inyong' adalah mitra penting dalam program tanggung jawab sosial lingkungan (TJSL). (jti/her)

Berita Terkini