TRIBUNJATENG.COM, PATI – Bupati Pati Sudewo dan Kapolresta Pati Kombes Pol Jaka Wahyudi sempat melarang sound system carnaval atau sound horeg di wilayah mereka.
Namun, setelah mendapat protes dari pelaku usaha sound system, mereka memperbolehkan dengan sejumlah pembatasan, di antaranya maksimal 16 subwoofer single dan penyebutannya diubah menjadi sound karnaval.
Akhir-akhir ini, kasus sound horeg kembali mencuat di Jawa Timur.
Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim mengeluarkan fatwa haram sound horeg.
Lantas, bagaimana dengan MUI Pati?
Junjung Etika dan Kesantunan
Ketua MUI Kabupaten Pati, KH Abdul Karim angkat bicara terkait fenomena sound horeg yang meresahkan.
Dia menilai, persoalan ini bukan sekadar urusan teknis melainkan juga menyangkut etika sosial kemasyarakatan.
KH Abdul Karim menekankan pentingnya mengekspresikan kreativitas dengan tetap menjunjung nilai etika dan kesantunan.
"MUI Jatim mengharamkan sound horeg karena melihat sisi dampaknya yang tidak baik."
"Sound horeg di Jatim kan kalau kita lihat, memang terlalu berlebihan dari sisi kapasitas, volume, dan hal-hal lain yang menyertainya," ungkap KH Abdul Karim ketika dihubungi via sambungan telepon, Rabu (23/7/2025).
Baca juga: Bupati Pati Cabut Larangan Sound Horeg, Beri Batasan Penggunaan Subwoofer
Menurutnya, sound horeg yang berlebihan berdampak buruk dan menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai etika dan kesopansantunan.
"Di dalam Islam itu kan hukum mengikuti alasan."
"Al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa adaman."
"Kalau alasannya begitu, ya hukumnya begitu," jelas KH Abdul Karim menerangkan salah satu prinsip ushul fiqh.
Kendati demikian, dia juga menggarisbawahi pentingnya penghargaan terhadap kreativitas masyarakat.
Menurutnya, kreativitas adalah bagian dari ekspresi sosial yang bisa membangun simpati dan kebersamaan, asalkan diarahkan secara bijak.
"Pertanyaannya sekarang, bagaimana supaya kreativitas itu bisa dinikmati, dirasakan, dan diikuti masyarakat secara simpatik?" ucap KH Abdul Karim.
Sebagai solusi, ia menyarankan agar kapasitas dan volume sound dikurangi.
Kreativitas boleh terus berjalan namun tetap harus mempertimbangkan nilai kesantunan.
"Sound silakan tetap jalan, tapi kapasitasnya kita sesuaikan dengan nilai kesantunan sosial yang ada di sekitar kita," terangnya.
KH Abdul Karim memberi contoh kondisi di Jawa Timur, di mana penggunaan sound horeg dinilai sangat berlebihan.
"Tinggi besar, masyaallah, kanan-kiri penuh, belakang penuh, akhirnya tidak bisa dinikmati. Desibel terlalu tinggi, di dada juga menyakitkan," tutur dia.
Dia mengusulkan agar daya kreativitas berlebihan yang selama ini diekspresikan melalui "besar-besaran volume sound" dapat disalurkan ke bentuk lain yang lebih simpatik.
"Misalnya, main sinar (lighting) yang bagus, atau bentuk kreativitas lain yang benar-benar nyaman dinikmati warga."
"Tujuan penyelenggara kan supaya masyarakat datang, menonton, dan menikmati hiburan," jelasnya.
Baca juga: Janji Perbaikan Jalan Rusak Tak Kunjung Dipenuhi, Warga Pagongan Pati Blokade Gerbang Pabrik SJB
Tak hanya itu, KH Abdul Karim juga menyoroti elemen-elemen lain yang menyertai kegiatan sound horeg, di antaranya minuman dan tari-tarian yang tidak mencerminkan nilai budaya lokal.
Ia menyarankan agar hal-hal tersebut digeser ke arah yang lebih santun dan membumi.
"Coba mencerminkan tradisi kesenian lokal, seni tari yang mencerminkan keindahan, yang lebih indah dan nyaman ditonton," katanya.
Menurutnya, jika ekspresi kreativitasnya dilandasi etika sosial dan kesantunan, maka kegiatan semacam karnaval sound ini bisa berumur panjang, terus berlanjut dan mendapat apresiasi.
"Saya yakin, kalau nilai-nilai itu bisa ditampilkan, maka akan berumur lama dan berkelanjutan," tegas dia.
Dia mendorong agar kreativitas yang muncul terkait fenomena sound horeg ini tidak serta-merta dibungkam, melainkan diarahkan.
Ia menyebutkan bahwa daripada meniru model Jawa Timur yang berlebihan, lebih baik sound horeg di Pati dikembangkan dengan karakter tersendiri yang mencerminkan budaya lokal.
"Tonjolkan desain, permainan cahaya, kesenian lokal yang menyenangkan—bukan yang mengarah ke hal negatif," saran dia.
KH Abdul Karim menegaskan bahwa hukum Islam selalu mempertimbangkan dampak yang dimunculkan suatu perkara.
"Di mana-mana karakter penyusunan hukum itu ya seperti itu," tegas dia.
Oleh karena itu, pembatasan yang wajar sangat diperlukan.
"Kita ingin semua pihak senang—masyarakat terhibur dan nyaman, pemerintah daerah pun bisa menikmati. Dan itu juga bisa berdampak pada nilai ekonomi, penyelenggara akan lebih laris."
"Karena kalau masyarakat senang, kan, peluang laris tinggi. Tapi kalau seperti di Jatim, saya lihat tinggi bukan main, nabrak pohon, akhirnya, kan, malah merugikan," tegas dia.
Terakhir, KH Abdul Karim menekankan bahwa keberlanjutan kreativitas haruslah berpijak pada nilai kesantunan dan budaya yang luhur.
"Supaya kreativitas itu bisa berkelanjutan harus berbasis pada nilai kesantunan dan etika sosial. Sehingga orang menikmati dengan nyaman."
"Yang biasanya diiringi tari-tarian buka aurat, diganti saja dengan tradisi lokal yang anggun dan berbudaya, tidak harus yang mengumbar aurat. Kalau yang ditampilkan itu anggun dan berbudaya, orang akan menikmati dan senang," kata dia. (*)