TRIBUNBANYUMAS.COM, BANJARNEGARA - Insiden keracunan gas di PAD 28 PLTP Dieng yang dikelola PT Geo Dipa Energi menunjukkan betapa ganasnya gas panas bumi di dataran tinggi ini.
Satu orang tewas dan delapan orang harus mendapat perawatan di rumah sakit setelah mengihirup gas beracun saat mereka tengah membersihkan sumur.
Kejadian ini pun mengingatkan tragedi letusan Kawah Sinila yang terjadi 1979, 43 tahun silam.
Catatan dari PVMBG, peristiwa tersebut menewaskan 149 warga di desa sekitar.
Mayoritas dari mereka merupakan warga Desa Kepucukan, Kecamatan Batur.
Kini, nama Desa Kepucukan tak lagi dikenal warga Dieng. Pascakejadian tersebut, nama desa tersebut telah dihapus secara administratif.
Baca juga: KONDISI Terkini Korban Keracunan Gas PLTP Dieng: 4 Korban Sudah Pulang, 1 Orang Masih di ICU
Baca juga: Sehari Pasca-keracunan Gas di PLTP Dieng Aktivitas Wisata Normal, Pengunjung Tembus 3000 Wisatawan
Baca juga: PT Geo Dipa Pastikan Lokasi Gas Beracun PLTP Dieng Sudah Aman, Detektor Gas di Area Publik Ditambah
Baca juga: KRONOLOGI Keracunan di Sumur Geo Dipa PLTP Dieng: Gas Muncul saat Pendinginan Sumur
Selain banyak warga desa tersebut menjadi korban meninggal, warga yang selamat direlokasi.
Ada yang pindah ke desa sekitar di Batur, ada pula yang mengikuti program transmigrasi pemerintah.
Satu di antara warga yang selamat dalam tragedi letusan Kawah Sinila adalah Marjani (83).
Hingga hari ini, Senin (14/3/2022), Marjani tinggal di Dukuh Sidomulyo, Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara.
Ingatannya tentang tragedi keracunan massal itu pun masih lekat dalam ingatannya.
Pada 13 November 2019 lalu, Tribunbanyumas.com menemani Marjani kembali menyusuri area Kawah Sinila.
Ini merupakan kunjungan keduanya sejak kejadian yang memilukan tersebut.
Kunjungan pertama adalah satu tahun pascakejadian. Sejak saat itu, Marjani memutuskan tak mau lagi datang ke daerah tersebut.
"Saya hanya ke sini sekali, setelah letusan. Sudah 39 tahun," kata dia kala itu.
Menurut Marjani, letusan Kawah Sinilai terjadi pada suatu hari di bulan Februari 1979.
Kiamat kecil diawali dengan gemuruh yang didengar warga desa.
Tak hanya itu, mereka juga merasakan getaran yang mengoncang tanah dan bangunan.
Warga pun berlarian ke segala penjuru untuk menyelamatkan diri.
Bencana gas beracun nyatanya sulit diantisipasi warga.
Baca juga: Harga Emas Antam di Pegadaian Pagi Ini, Senin 14 Maret 2022: Rp 1.049.000 Per Gram
Baca juga: Marak Pencurian, Polisi Imbau Petani Adimulyo Kebumen Tak Biarkan Gabah di Tepi Jalan saat Malam
Baca juga: GPH Bhre Cakrahutomo Resmi Jadi Mangkunegara X, Penobatan Dihadiri Presiden Hingga Raja Trah Mataram
Baca juga: Kemenag RI Luncurkan Logo Halal Indonesia Mirip Gunungan, Berlaku Mulai 1 Maret. Ini Filosofinya
Tak seperti bencana longsor dimana arah datangnya luncuran tanah masih terlihat.
Atau, banjir, bisa diketahui darimana arah aliran air.
Namun, soal gas, warga tak bisa lagi menghindar. Apalagi, kala itu, edukasi terkait gas beracun di kawasan Dieng belum masih.
Maksud hati berlari menuju daerah aman namun mereka akhirnya tumbang karena sumber dan datangnya gas tak bisa diterka.
Mirip iblis tak berwujud. Penduduk seperti menghadapi musuh tak terliat.
Jalur yang mereka lewati justru menjadi jalan kematian.
Semburan gas beracun dari kawah secara cepat menyebar hingga masuk lubang-lubang hidung warga.
Gas yang masuk ke tubuh itu seakan mencekik mereka dari dalam. Warga ambruk dan mati bergelimpangan.
Kejadian ini pun menjadi satu di antara bencana mengerikan di Indonesia.
Ahli Geologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Sachrul Iswahyudi ST, MT mengatakan, kandungan panas bumi yang mengandung gas beracun memang menjadi potensi berbahaya di Dieng.
Sachrul menyebut, beberapa gas beracun yang ditemukan dan terkandung tinggi di Dieng di antaranya CO2, H2S, dan SO2.
"Kawasan Dieng, selain mulai padat pemukiman, juga sebagai destinasi wisata yang ramai. Ini yang memicu kekhawatiran," kata Sachrul, Minggu (13/3/2022).
Terkait kondisi ini, Sachrul pun meminta pemerintah daerah setempat dan pihak berwenang memperbanyak penelitian.
Juga, mengedukasi warga dan wisatawan secara rutin. Langkah ini menjadi satu di antara langkah mitigasi gas beracun agar tak lagi memakan korban jiwa. (aqy/jti)