TRIBUNBANYUMAS.COM, BATAM - Menjadi seorang dokter di daerah terluar memiliki tantangan tersendiri. Kultur masyarakat dan kondisi geografis menjadi kendala.
Hal itu dialami dr Fadhil pria asal Bandung yang telah menetap di Desa Tanjung Kumbik, Kecamatan Pulau Tiga, Natuna Provinsi Kepri sejak 2012 silam.
Sembari duduk di bawah pohon yang rindang, Jumat (14/02/2020) pagi, Fadhil menyebutkan perjalanan seorang dokter di pulau terluar memang tak selalu nikmat, penuh perjuangan bak pertaruhan hidup dan mati.
Kapal tenggelam dan pernah dikejar benda tajam parang hingga diguna-guna dan bahkan ditolak warga sebagai dokter kerap dilaluinya, namun semua itu tak kan menyurutkan misinya.
Tak pernah terlintas di benaknya untuk sampai dan hingga menetap di pulau, namun rezeki berkata lain.
Dengan meneguk teh botol di bawah mentari pagi yang bersinar, dokter Fadhil menceritakan awal mula ia bertugas di Tanjung Kumbik itu.
Tahun 2012 saya dikirim pusat jadi dokter keluarga ke Natuna. Iyaa, mungkin karena memang latar belakang saya dokter umum.
Namun waktu itu saya juga berpikir-pikir untuk menetap di sebuah pulau di ujung Indonesia dengan cerita-cerita yang memiliki mitos tinggi.
Dan perlahan-lahan tugas itu dijalani dengan tekun dan hati yang lapang di kampung ini.
Bahkan sejak Fadhil mulai menetap di pulau, ia mulai merasakan perubahan yang sangat drastis.
"Iya berbeda lah bak 360 derajat perubahan hidup sewaktu di Bandung dengan saat ini. Tak ada akses pendukung, bahkan penerangan pun disini belum ada hingga layanan kesehatan," ucapnya.
Namun hal itu tidak menjadi penghambat bagi seorang Fadhil.
"Iya bagiku pengabdian seorang dokter memang butuh pengorbanan, tak hanya tentang bisa mengobati pasien namun juga mampu mengubah sebuah peradaban masyarakat," tegas Fadhil dengan semangatnya.
Hari demi hari Fadhil mulai menetap dan menekuni aktivitas sebagai dokter di perkampungan itu, ia mulai membaur dengan warga masyarakat dan perlahan mendatangi warga yang sakit dan membutuhkan layanan kesehatan, namun pekerjaannyanya justru mendapat penolakan.
Kata Fadhil warga menolak adanya pengobatan secara medis yang masuk ke perkampungan pulau.
Bukan tanpa alasan, warga lebih memilih obat-obatan tradisional serta dukun kampung dibanding dokter dan obatan medis.
"Persaingan dunia di sini bukan melawan penyakit ataupun bencana melainkan orang berilmu, kalau kata orang kampung, dukun," cetus Fadhil.
Hal itu juga sejalan dengan warga yang lebih mempercayai dukun kampung dibanding dokter medis.
Warga percaya dukun itu, kata Fadhil dahulu itu sudah sebuah keyakinan dan tradisi warga setempat.
Warga yang sakit berobat ke orang yang ahli, dan bahkan ibu-ibu yang melahirkan mereka lebih percaya bidan kampung dari pada dokter.
• Tertangkap Mesum di Hotel, Wanita di Tangerang Minta Dispensasi Karena Hari Valentine
• Nikita Mirzani Tidur di Pangkuan Hotman Paris sambil Bermanja-manjaan, Ada Apa?
Keyakinan setempat misalnya, ibu yang baru melahirkan harus makan makanan yang kering, dan anak yang baru dilahirkan tidak boleh dibawa keluar selama 40 hari.
Hal-hal seperti itu kuat diyakini warga setempat.
"Jadi saya itu sering dijauhin sama dukun beranak selama di sini dan bahkan ada beberapa warga juga yang tidak suka sama saya," sebut Fadhil.
Memang tak bisa kita pungkiri bahwa hal-hal sepertu itu menjadi keyakinan lokal yang telah membentuk peradaban budaya masyarakat.
Namun yang menjadi pertanyaannya jika ini terus dibudayakan masyarakat akan terpencil dalam kondisi peradaban yang modern ini.
"Keyakinan mereka terhadap hal seperti itu, sudah berlangsung sejak lama.
Namun yang menjadi tugas saya harus sering mengedukasi masyarakat agar mereka paham dan menerima kehadiran dunia medis," kata Fadhil.
"Jadi hal itu sangat saya rasakan mulai dari 2012 hingga 2016 para warga setempat sangat anti medis," ujarnya.
"Bahkan ironisnya yang saya tidak dapat tahankan bak hati saya tersayat melihat sebuah peristiwa yang pernah terjadi di pulau ini, ketika seorang warga ibu-ibu melahirkan mereka menunggu dukun kampung."
"Waktu itu saya dapat informasi dari warga bahwa seorang ibu akan melahirkan kondisinya bayi sudah di ujung, lalu saya bersama tim perawat bergegas ke sana.
Saat mau kita tangani sang suami justru melarang saya, sementara sang ibu sudah pendarahan dan pecah ketuban," ujarnya.
"Lalu apa kata suami si ibu, tunggu dulu jangan disentuh, bidan kampung sudah dalam perjalanan kesini," ujar Fadhil menirukan ucapan warga itu.
Hingga menunggu kedatangan bidan kampung 2 jam kemudian sang bayinya pun tak dapat diselamatkan.
"Kadang hal-hal seperti itu lah yang kerap saya jumpai di lingkungan warga pulau."
Mereka sangat meyakini dukun, bahkan jika dukun bilang tidak warga akan ikut. Jadi ketika warga yang akan dirujuk ke Puskesmas sekalipun, harus konsultasi dengan dukun, baru mereka datang ke Puskesmas.
"Tidak hanya cerita itu, bahkan saya pernah dikejar-kejar oleh seorang suami dari ibu yang kita tangani, ia tidak terima bahwa keluarganya diobati dengan cara medis kesehatan."
"Hingga saya dijagain oleh Babinsa setempat waktu itu."
"Banyak sekali cerita histeris yang saya lalui tentunya dari warga di pulau ini."
Selain cerita pekerjaan, Fadil juga mengatakan bahwa pasokan fasilitas medis kerap kosong di puskesmas hingga menunggu kapal angkutan tiba.
"Kapal datang kesini kan hanya 1 kali dalam dua minggu, jadi ketika pasokan medis habis kita harus menunggu selama dua minggu kemudian," ucapnya.
Dulu kata Fadil melanjutkan cerita yang sempat terputus dalam pembicaraan santai.
Waktu itu persediaan benang jahit habis di Puskesmas, namun pada saat itu ada seorang anak perempuan diantar bapaknya datang kerumah saya mau berobat.
Waktu itu kondisi sianak ini mengeluarkan darah dari anusnya, kata bapaknya habis berenang-berenang lalu dia menduduki ember dan ember pecah merobek pantat hingga vaginanya.
• Pengacara Tunjukkan Video Lucinta Luna Depresi, Abash: Kamu bisa Enggak pakai Obat itu
• Jual Togel Secara Berkeliling untuk HIndari Polisi, Pria Ini Akhrinya Diringkus Polres Purbalingga
Waktu itu pun saya sontak kaget, langsung berupaya melakukan penjahitan terhadap si anak namun stok benang jahit habis.
Tidak habis pikir saya pun mengambil benang kail pancing untuk menjahit vagina si anak yang sudah robek, kata Fadhil.
Masih dalam cerita pengalaman yang ia lalui, dr Fadhil juga pernah mendapati kejadian tragis yang dilakukan oleh sang ayah kepada anaknya.
"Tahun 2015 saya pernah mau membantu operasi seorang anak dukun. Jadi anak dukun diusia 14 tahun itu mau melahirkan dan saat itu ditangani ayahnya namun tidak dapat melakukan persalinan pada anak sendiri, jadi kami dipanggil warga ada orang yang melahirkan sudah lama tidak keluar keluar yang ditangani bapaknya sendiri."
"Dan kami kesana bapaknya langsung bilang saya bisa tangani namun pada proses persalinan, kepala bayi sudah keluar tapi si bapak (dukun) tak kunjung dapat menyelesaikan."
"Waktu itu saya sudah katakan, pak.. pak biar kami bantu tangani, sebab kepala bayi sudah keluar namun rahim si ibu tidak bisa mengeluarkan bayi lewat vagina karena bahu si bayi masih tersangkut," ujarnya.
"Namun bapaknya waktu itu hanya bilang, kita sedang menunggu waktu, sebab hantu dari gunung itu masih menggangu sehingga susah keluar, tunggu saja, kata si bapaknya."
Tidak hanya rintangan itu yang dilalui Fadil, bahkan pertarungan ditengah laut saat hendak menyeberang juga dihadapkan dengan kapal yang karam.
"Pernah tengah malam membawa pompong saat kembali ke Puskesmas namun pada saat itu kapal kami nabrak karang, hingga pecah dan karam. Akibatnya kami harus berenamg hingga ketepian pantai. Saya ingat sekali kejadian itu," ujarnya.
Kapal pecah itu, kata Fadhil bukan untuk kebutuhan dia keluar pulau melainkan untuk bertemu pasien.
Waktu terus berjalan hingga 4 jam kemudian dan akhirnya bayi dan ibunya pun meninggal.
"Lalu pas saat meninggal apa kata bapaknya, itu sudah takdir anak saya."
"Saya waktu itu sampai menangis melihatnya, sampai saya terpukul menjalani profesi sebagai dokter."
• Dosen Unnes Dibebastugaskan karena Sindir Presiden Jokowi dan Jan Ethes di FB, Begini Postingannya
• Reaksi Gisel Anastasia dan Pengacara Lihat Pelaku Penyebar Video Syur Mirip Dirinya: Seram
Tidak hanya cerita itu banyak sekali, jika disampaikan yang warga mancing ikan lalu mata kail nyangkut di mata dan ada tangan yang hampir putus.
"7 tahun cerita saya di pulau kalau saya ungkapnya semuanya bahkan full halaman koran bapak besok," cetus Fadhil sembari tertawa.
"Namun dibalik itu semua, saya pun berpikir, kalau para dukun beranggapan bahwa saya dibuat jadi saingan mereka bakalan sulit warga menerima saya."
"Menyikapi itu saya buat lah porogram bersama "dukun kemitraan" agar para dukun ini memahami tentang kemedisan agar tidak kolot," ujarnya.
Dikatakan dr Fadhil untuk program dukun kemitraan itu dirinya harus bayar setiap dukun.
"Setiap desa 1 dukun, sementara ada 10 desa. Jadi semuanya harus saya bayar," kata Fadhil.
Dan akhirnya program itu pun berjalan sampai sekarang.
Bahkan layanan program dari pemerintah, seperti jaminan persalinan (Jampersal) periksa kesehatan, dan Puskesmas mulai dikunjungi warga.
Pengobatan umum gigi, kesehatan ibu dan anak serta KB gratis dan imunisasi, semuanya gratis.
Puskesmas Pulau Tiga, saat ini melayani 6 desa setelah adanya pemekaran.
Jadi sekarang sudah mulai berbeda, warga sudah mulai banyak datang berobat, dan bahkan hingga 20 per harinya.
Hanya saja saat ini kendala warga ketika ingin datang ke Puskesmas terbatas dengan akses laut, yang beda pulau.
Dari pulau antar pulau jarak tempuh warga hingga ke Puskesmas itu berlayar menggunakan pompong 30 menit.
Adapun jumlah penduduk yang mendiami pulau di kecamatan Pulau Tiga itu ada sebanyak 7.000 warga, sementara tim medis awalnya ada 17 orang dan sekarang 30 orang para medis.
• Aurel Hermansyah dan Atta Halilintar Bahas Pernikahan Diadakan di Bulan Spesial, Sudah Dapat Restu?
• Nia Ramadhani Dapat Dapat Hadiah Valentine Amplop dari Ardi Bakrie, Intip Isinya!
Hingga akhirnya kini dr Muhammad Fadhil diamanahi menjadi kepala Puskesmas Pulau Tiga.
Bahkan Fadhil saat ini memiliki anggota puskesmas sebanyak 30 orang.
Bahkan ia menyebutkan mengapa ini disebut Kecamatan Pulau Tiga, karena disini ada 3 pulau yakni pulau Tanjung Kumbik, Pulau Sabang Mawang dan Sei Dedap yang didalamnya ada 10 desa.
"Jadi semua desa itu saya yang akomodir. Intinya cerita saya di pulau ini sangat luar biasa dalan perjalanan hidup saya," kata dia.
"Tapi yang saya ingin sampaikan bahwah perjuangan hidup manusia itu panjang, saya dari lajang dan dari dokter umum biasa hingga saya mendapat istri dan jadi kepala puskesmas saat ini tentunya punya kisah menarik."
"Kelak akan saya ceritakan kepada anak dan cucu saya," kata Fadhil.(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Cerita Dokter Fadhil 8 Tahun Bertugas di Natuna Kala Warga Setempat Lebih Percaya pada Dukun,