TRIBUNBANYUMAS.COM, BANYUMAS - Kabupaten Banyumas memiliki banyak potensi budaya, keindahan alam dan juga kulinernya.
Bukan hanya dikenal sebagai daerah penghasil getuk goreng ataupun mendoan, Banyumas juga memiliki olahan makanan legendaris yang disebut Nopia dan Mino.
Berbentuk bulat, putih bersih seperti telur ayam kampung, menjadikannya cocok sebagai hantaran oleh-oleh.
Kini usaha pembuatan Nopia Mino sudah semakin berkembang.
Bukan hanya sekedar memproduksi tetapi juga berinovasi menjadikan sentra pembuatan Nopia Mino sebagai tempat wisata.
Inilah yang coba diterapkan di Desa Pekunden, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas yang kini dikenal sebagai 'Kampung Nopia Mino: Wisata Home Industri".
Semenjak 2018 lalu, warga di RT 3 RW 4 Desa Pekunden menjadikan tempat mereka sebagai kampung wisata Nopia Mino.
Dari 105 kepala keluarga (KK) Ada 24 KK yang berprofesi sebagai pembuat Nopia dan Mino.
Ide mencetuskan kampung Nopia Mino bermula dari keinginan menaikan taraf hidup dari para pengusaha kecilnya.
Nopia menjadi makanan legendaris dari Banyumas sebab, menurut penuturan warga setempat Nopia sudah ada sejak 1950-an.
Mungkin anda akan bertanya-tanya apa perbedaan antara Nopia dan Mino.
Masyarakat mengenal Nopia terlebih dahulu ketimbang Mino.
Nopia berukuran lonjong, besar, dan kosong bagian dalamnya.
Seiring berjalannya waktu warga berinovasi dengan membuat Mino.
Mino adalah padanan kata dari 'Mini Nopia' sehingga disingkat Mino.
Ukurannya lebih kecil ketimbang Nopia, tetapi bahan dan cara pembuatannya masih sama persis.
Nopia diperkirakan muncul pada 1950-an. Seperti cerita yang dituturkan oleh Rakiwan (66) pengusaha Nopia yang cukup tua.
"Keluarga saya mulai merintis usaha pembuatan nopia sejak 1950-an.
Sedangkan saya melanjutkannya sejak 1984-an," ujar Rakiwan kepada TribunBanyumas.com, Kamis (13/2/2020).
Rakiwan menceritakan jika dalam sehari dia bisa memproduksi Nopia dan Mino mencapai 30 kg - 45 kg adonan sehari.
Adonan tersebut kurang lebih bisa menghasilkan 3.000 buah Mino.
Satu kilogram Mino sendiri dihargai Rp 15 ribu.
Ketika memasuki bulan Ramadan produksi Nopia dan Mino bisa bertambah.
Apalagi menjelang lebaran, banyak dicari sebagai jamuan para tamu yang datang ke rumah.
Kampung Nopia Mino sebagai tempat wisata home industri juga memberikan kesempatan para pengunjung belajar membuat secara langsung.
Cukup membayar Rp 12 ribu, anda bisa berkeliling kampung, sambil melihat sekaligus praktik membuat makanan khas Banyumas tersebut.
Bukan hanya menawarkan wisata home industri, kampung Nopia Mino juga menyuguhkan wisata selfie.
Ada spot foto keren yang sudah digambar oleh para pemuda setempat sehingga para pengunjung tidak akan merasa bosan.
"Selain bisa melihat pembuatan Nopia dan Mino, berfoto di spot instragamable lalu pulangnya dapat membawa oleh-oleh Nopia dan Mino buatan sendiri," ujar Bagian Humas dan Promosi Paguyuban Mino Nopia Banyumas, Mangun Handoyo (68).
Para pengunjung biasanya dari kalangan anak-anak TK, Mahasiswa, ataupun umum yang penasaran terhadap proses pembuatan Mino Nopia yang unik.
Berkat usaha mendirikan Kampung Nopia Mino, kampung Pekunden menjadi semakin tersohor.
"Beberapa waktu yang lalu turis asing juga sempat kesini. Seperti dari Korea, Inggris, dan Arab," ujarnya.
Kebanyakan dari para pengunjung mengaku terkesan dengan proses pembuatan Nopia yang unik.
Keunikan tersebut ada pada proses pembakarannya.
Dimana alat yang digunakan tidak menggunakan oven modern seperti kebanyakan, melainkan menggunakan oven tradisional yang disebut gentong.
Gentong adalah tempat pembakaran yang terbuat dari tanah liat berbentuk silinder bulat mirip seperti sumur air.
Akan tetapi pada lapisan dalamnya terdapat besi panas sebagai tempat menempelkan adonan-adonan Nopia dan Mino.
Sebelum adonan dipanggang, gentong terlebih dahulu dipanaskan dengan cara membakar kayu bakar di dalamnya.
Setelah kayu bakar menjadi arang dan suhu di dalam Gentong panasnya sudah pas, maka adonan Nopia dan Mino bisa ditempelkan pada bagian dalam gentong.
Proses pembuatan adonan Nopia dan Mino ada dua tahap.
Pertama adalah membuat kulitan, kedua adalah isian.
Isiannya berupa gula jawa dan terigu. Sedangkan kulitan terbuat dari terigu, gula pasir dan minyak.
"Memasak Nopia itu resikonya lebih besar, ketimbang Mino sebab jika bolong sedikit saja bisa tidak mau mengembang," ujar Ketua Paguyuban Roti Mino Banyumas, Sunarno.
Sunarno mengatakan jika penjualannya selama ini lancar karena setiap pedagang sudah mempunyai pelangganya masing-masing.
Dia sendiri biasanya menjual Nopia dan Mino ke pasar Banyumas.
Terkadang masyarakat akan menjual kembali dengan harga eceran.
Pemasaran Nopia Mino patut di acungi jempol, sebab sudah bisa merambah pasar ekspor sampai ke negeri China.
Sementara di dalam negeri, dipasarkan hingga Kalimantan, Sulawesi dan Bali.
Dengan adanya kampung Nopia Mino, Desa Pekunden, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas semakin menaikan daya tarik wisata.
Pengunjung dapat membuat langsung Nopia sekaligus berburu spot foto keren dan membawa pulang oleh-oleh khas Banyumas tersebut. (Tribunjateng/jti)