Berita Jateng

Gawat Pagar Laut Sudah Lama Ada di Pesisir Semarang dan Demak, Hanya Kalah Viral dengan di Tangerang

Warga pesisir di Kota Semarang dan Kabupaten Demak menyebut pagar laut bambu sudah lama ada di daerah mereka

Penulis: iwan Arifianto | Editor: khoirul muzaki
Istimewa
Nelayan yang menambatkan perahunya di Kali Sringin hendak menuju ke laut melewati sebuah barat pabrik di sisi barat Kawasan Industri Terboyo, Genuk, Kota Semarang. Mereka kondisinya kian terdesak saat proyek TTLSD mulai dijalankan, Jumat (2/2/2024). 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG -Warga pesisir di Kota Semarang dan Kabupaten Demak menyebut pagar laut bambu sudah lama ada di daerah mereka  hanya saja kalah viral dengan yang di Tangerang, Banten.

Namun, perbedaannya pagar laut di Tangerang dilakukan secara masif dan terorganisir. Sebaliknya,  untuk di pesisir Semarang-Demak dilakukan secara parsial.


Warga pesisir Demak, Masnuah mengatakan, pagar laut di Tangerang yang akhir-akhir ini ramai dibahas sebenarnya sudah lama terjadi di Demak.

Menurut dia, di Demak permukiman tenggelam sudah dipagari oleh para cukong.

“Seharusnya di Demak disuarakan seperti di Tangerang supaya warga pesisir di sini bisa berdaulat atas lautnya sendiri dan atas tanahnya sendiri,” terangnya dalam diskusi publik Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Laut dari Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS) secara online, Kota Semarang , Kamis  (30/1/2025).

Perempuan yang juga sebagai Ketua Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia  (PPNI) ini mengungkapkan, penguasaan tanah di pesisir Demak di antaranya di Timbulsloko bermula dari manipulasi diduga dari perangkat desa setempat terhadap  warga pesisir supaya menjual tanah musnah kepada mereka.

Tanah itu mayoritas hanya berstatus Letter D tanpa sertifikat sehingga dibeli oleh para perangkat desa dengan harga murah meriah yakni Rp5 ribu permeter.

Harga akan naik tiga kali lipat ketika bersertitifikat yakni di angka Rp15 ribu sampai Rp20 ribu permeter.

“Warga dimanipulasi dengan menyebut tanah sudah tenggelam tidak bisa diapa-apakan jadi jual saja, warga tidak ada pilihan lain sehingga mau tidak mau terpaksa menjual tanah itu sesuai harga yang dipatok oknum perangkat desa,” bebernya.

Masnuah melanjutan, tanah musnah yang dibeli oleh perangkat desa dengan harga murah itu lalu dijual ke perusahaan-perusahaan asing di antaranya dari  Jepang.

Mirisnya, tanah yang belum laku terjual maka akan disewakan kembali ke warga. Warga yang mau menyewa tanah musnah untuk mencari ikan harus membayar biaya sewa Rp700 ribu sampai Rp1 juta pertahun.

Pembayaran harus di muka atau dicicil sebanyak dua kali. Warga pesisir yang mencari ikan di tanah musnah ini tanpa menyewa maka para pemilik tanah musnah akan melaporkannya ke polisi.

“Kalau tidak sewa mau dilaporkan polisi sehingga ada konflik antar warga dengan perangkat desa sebagai pembeli tanah,” jelasnya.

Nelayan pesisir Kota Semarang Marzuki mengatakan, pemagaran laut di pesisir Semarang pernah terjadi pada tahun 2016 oleh perusahaan tertentu.

Baca juga: Video Petugas SPBU Dikeroyok Gegara Tegur Pengunjung Tak Boleh Merokok

Nelayan sampai kesulitan ketika melaut. Namun, pagar bambu itu ambrol sendiri karena diterjang gelombang.

Untuk saat ini, nelayan juga susah melaut karena proyek tol Semarang-Demak yang menutup akses nelayan di Trimulyo, Semarang dan Timbulsloko Demak.

“Persamaannya pesisir di Tangerang dengan Semarang-Demak adalah wilayah pesisir di sini telah dipetak-petakan, kami khawatir masa depan nantinya kami tak bisa melaut lagi,” katanya.

Pakar Lingkungan Pesisir Kota Semarang, Mila Karmila mengatakan, permasalah pesisir di Tangerang dan Semarang-Demak memiliki perbedaan bentuk pendekatan.

Kejadian di Tangerang berupa pemagaran secara memanjang sedangkan di Semarang-Demak diambil alih dengan cara mensertifikatkan tanah demi kepentingan reklamasi.

Menurutnya, pendekatan di Semarang-Demak lebih soft daripada di Tangerang. Hanya nelayan sendiri yang tahu tanah-tanah mereka sudah dibeli oleh beberapa pengembang, investor, dan sebagainya

“Tidak semua orang tahu bahwa di kawasan pesisir Semarang-Demak sudah beralih tangan, kawasan laut dan perairan di kawasan itu kini tidak bebas digunakan oleh masyarakat,” paparnya.

Reformasi Agraria Perkotaan

Menyikapi persoalan tersebut, Aliansi Rakyat Miskin Semarang-Demak (ARMSD) mengajukan lahan di kawasan pesisir seluas 1.425,59 hektare (Ha) untuk masuk sebagai kawasan reforma agraria ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Pengajuan Reforma agraria ini karena warga pesisir pesisir di Semarang-Demak yang telah dikuasai oleh sejumlah korporasi bakal mengancam ruang tangkap dan ruang hidupya di masa mendatang.

Menurut perwakilan ARMSD  Eka Handriana, dokumen “Pendaftaran Lokasi untuk Reforma Agraria di Perkotaan” tersebut telah diajukan ke Kementerian ATR BPN sejak 22 Juli 2024 silam. pengajuan dilakukan bersama-sama dengan Gerakan Rakyat untuk Reforma Agraria Perkotaan (GRRAP) yang merupakan aliansi rakyat miskin kota di 90 kampung kota di 8 provinsi di Indonesia.

Untuk di  Semarang-Demak, pihaknya mengajukan enam kampung meliputi Kota Semarang terdiri dari Tambakrejo, Kauman, Tugu, Petemesa. Sedangkan di Demak Dukuh Timbulsloko, Dukuh Rejosari.

“Pengajuan dokumen reformasi agraria berisi dua hal yakni aset dan akses. Aset merujuk pada tempat tinggal sedangkan akses adalah soal ruang tangkap para nelayan,” jelas Eka selepas diskusi publik HGB dan SHM di Laut secara online, Kota Semarang , Kamis  (30/1/2025).

Data yang diperoleh Tribun, rincian luasan tanah pesisir yang diajukan AMRSD meliputi Gemuak, Sidogemah Kabupaten Demak seluas 6,49 Ha. Timbulskolo Kabupaten Demak 49,5 Ha. Empat daerah di Kota Semarang yakni permukiman Tambakrejo seluas 8,6 Ha, area tangkap di pesisir Tambakrejo600 Ha, Kampung Kauman Mangkang Kulon seluas 0,3 Ha, dan ruang tangkap di pesisir Tugurejo seluas 760,7 Ha.

Baca juga: Banjir Melanda Empat Desa di Mejobo Kudus, 350 Rumah Terendam dan 1.100 Jiwa Terdampak

Eka mengungkap, kawasan yang diajukan tersebut kini belum menunjukan kemajuan berarti. Pihaknya mengalami berbagai kendala untuk memperjuangkan dokumen itu kementerian.

Kendala yang dihadapi di antaranya adalah pergantian rezim pemerintahan sehingga perlu mengulang kembali pertemuan dengan pejabat Direktorat Jenderal di Kementerian terkait.

Namun, Eka menyebut Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dan jajarannya  hanya tinggal mendorong dalam melaksanakan reforma agraria di Perkotaan. Sebab, pihaknya sudah merancang skema hak kolektif dan merancang perencanaan pemanfaatan wilayah yang diajukan.

“Pak Menteri ATR/BPN hanya perlu mendorong atau mengaktifkan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di daerah-daerah misalnya di Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, dan Kabupaten Demak, dan daerah2 lain, sebagai baris depan pelaksanaan program reforma agraria,” ujarnya yang juga merupakan peneliti dari Yayasan Amerta Air Indonesia. (Iwn)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved